Pajak Internasional
Laman Pajak Internasional ini sebagian besar merupakan copy paste dari ebook Pajak Internasional yang buat oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak. Ebook dibuat tahun 2014 dengan editor Ibu Leli Listianawati. Tidak semua materi dicopy. Beberapa
bagian yang lebih tepat untuk petugas pajak tidak disajikan disini.
Saya menyajikan dalam laman ini supaya saya belajar lagi. Pada beberapa
bagian saya modifikasi dengan tetap mengacu pada peraturan yang jadi
rujukan di ebook. Semoga bermanfaat, terutama bagi mahasiswa dan wajib pajak yang merasa perlu tahu.
Dari pengertian di atas dapat dibedakan dua jenis Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu :
Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah final kecuali bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa:
Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:
Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pelayaran dan Penerbangan Internasional
Dengan demikian, pengenaan pajak kepada Kantor Perwakilan Dagang Asing yang berasal dari negara mitra P3B dapat dilakukan serpanjang kegiatan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Dagang Asing dimaksud tidak termasuk pada kegiatan yang dikecualikan sebagai bentuk usaha tetap, sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku.
Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian pajak antara 2
(dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan
atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah
satu atau kedua negara yang melakukan perjanjian (both Contracting States).
Dalam perpajakan internasional, terdapat 3 (tiga) metode hak pemajakan.
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian P3B diantaranya adalah:
Sedangkan metode penghindaran pajak berganda yang digunakan yaitu dengan pembebasan/pengecualian pajak, kredit pajak, dan metode lainnya seperti pembagian/pengurangan tarif dan pemajakan dengan jumlah tetap.
Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai penyalahgunaan P3B (yang memuat persyaratan beneficial owner (BO)) :
Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:
Jadi Resident Tie Breaker berfungsi sebagai penentu bagi permasalahan dual resident.
Resident Tie Breaker dilakukan secara berurutan dan bertahap sesuai dengan tax treaty yang sudah ditanda-tangani. Ada dua jenis Resident Tie Breaker, yaitu satu untuk individu atau sering disebut Wajib Pajak Orang Pribadi, kedua untuk persons other than individual atau kita sebut jasa wajib pajak badan.
Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri: Tempat tinggal (Permanent Home), pusat kepentingan (Centre of Vital Interests), kebiasaan berdiam (Habitual Abode), status kewarganegaraan (Nationality), Citizenship, dan prosedur kesepakatan (Mutual Agreement Procedures). Kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.
Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada.
Ada 39 tax treaty yang menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, dan terakhir Mutual Agreement Procedures.
Sebanyak 22 tax treaty menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, Nationality, dan terakhir Mutual Agreement Procedures.
Istilah Citizenship hanya digunakan dalam satu tax treaty yang kedudukannya sama seperti Nationality. Menurut saya, urutan yang kedua sama saja dengan ketiga.
Sedangkan Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Badan terdiri: MAP (Mutual Agreement Procedures); POCM (Place of Control and Management); POEM (Place of Effective Management); POI (Place of Incorporation); POO (Place of where it is organised).
Ada 29 tax treaty yang hanya menggunakan Mutual Agreement Procedures untuk menentukan dual resident, 26 tax treaty hanya menggunakan Place of Effective Management, dan 3 tax treaty hanya menggunakan Place of Incorporation.
Tetapi dalam konteks tax treaty, Permanent Establishment adalah batas kewenangan Indonesia mengenakan pajak.
Tax treaty biasanya mengatur hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty.
Jika terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty, maka Indonesia berhak mengenakan pajak sesuai tax treaty. [pada kebanyakan, Indonesia sebagai negara sumbber].
Pada dasarnya, Permanent Establishment dikelompokkan ke dalam empat tipe :
http://pajaktaxes.blogspot.co.id/p/pajak-internasional.html
Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional
Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:- orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; dan
- orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Dari pengertian di atas dapat dibedakan dua jenis Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu :
- Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan
- Wajib Pajak Luar Negeri yang tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Selain
itu, ada juga Wajib Pajak Luar Negeri yang pengenaan pajaknya diatur
khusus pada Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu Wajib Pajak
Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri dalam bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:
Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri dalam bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:
- green card;
- identitiy card;
- student card;
- pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
- surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
- tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Penghasilan Yang Diterima Subjek Pajak Luar Negeri Melalui Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia
Yang menjadi objek pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap, yaitu :- penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai Bentuk Usaha Tetap tersebut;
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
- penghasilan sebegaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Bentuk Usaha Tetap merupakan
satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh Bentuk
Usaha Tetap kepada kantor pusatnya seperti royalti atas penggunaan harta
kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan itu
sendiri.
Oleh karena itu, jika kita mengacu pada ketentuan di atas, pembayaran berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga oleh
dari Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Pengecualian dari ketentuan ini adalah apabila kantor
pusat dan Bentuk Usaha Tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan,
maka pembayaran bunga pinjaman oleh Bentuk Usaha Tetap kepada kantor
pusatnya dapat dibebankan sebagai biaya.
Karena Bentuk Usaha Tetap merupakan Subjek Pajak yang diperlakukan sama dengan Subjek Pajak badan, maka biaya yang dapat dikurangkan atau tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan yang diterima mengikuti ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Karena Bentuk Usaha Tetap merupakan Subjek Pajak yang diperlakukan sama dengan Subjek Pajak badan, maka biaya yang dapat dikurangkan atau tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan yang diterima mengikuti ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Perbedaan Bentuk Usaha Tetap dengan perusahaan PMA (penanaman modal asing) :
Keterangan
|
Bentuk Usaha Tetap
|
PMA (WPDN Badan)
|
Status hukum perusahaan
|
Tidak berbadan hukum
|
Berbadan hukum PT
|
Penyertaan Modal
|
Tidak ada
|
Setoran pemegang saham
|
Objek Pajak
|
Pasal 5 ayat (1) UU PPh
|
Pasal 4 ayat (1) UU PPh
|
Pengurang Penghasilan Bruto
|
Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU PPh
|
Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 UU PPh
|
Sisa kerugian tahun-tahun sebelumnya
|
Dapat diperhitungkan
|
Dapat diperhitungkan
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Pasal 16 ayat (3) UU PPh
|
Pasal 16 ayat (1) UU PPh
|
Tarif Pajak
|
Pasal 17 ayat (1) b UU PPh
|
Pasal 17 ayat (1) b UU PPh
|
Penghasilan Kena Pajak dikurang PPh terutang
|
Branch Profit yang terutang PPh Pasal 26 ayat (4)
|
Tidak ada terminologi khusus, distribution to shareholder (dividend)yang terutang PPh Pasal 23/26
|
Penghasilan Yang Diterima Subjek Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berada di Indonesia.
Tarif dasar
Pasal 26 ini adalah sebesar 20% yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak
(DPP). DPP Pasal 26 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu
- jumlah bruto,
- perkiraan penghasilan neto, dan
- penghasilan setelah dikurangi pajak (earning after tax).
Karena Pasal 26 adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT
yang penghasilannya bersumber dari Indonesia, dalam hal ketentuan P3B
mengatur berbeda dari yang tertulis di Pasal 26, maka yang berlaku
adalah ketentuan P3B sebagai lex specialis dari Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Namun demikian patut diperhatikan bahwa P3B tidak mengatur aspek
pemajakan terkait objek-objek penghasilan yang dikenakan maupun yang
tidak dikenakan pajak, melainkan mengatur pembatasan hak pemajakan suatu negara atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari negara tersebut.
Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah final kecuali bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa:
“Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:1. dividen;2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;5. hadiah dan penghargaan;6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau8. keuntungan karena pembebasan utang.”
Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pengalihan Harta Selain Saham
Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Perkiraan
penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dari harga jual. Pemotongan pajak tersebut bersifat final
dan atas penghasilan yang merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/PMK.03/2009 mengatur bahwa atas penjualan atau pengalihan harta yang dimaksud di atas adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/PMK.03/2009 mengatur bahwa atas penjualan atau pengalihan harta yang dimaksud di atas adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Selain itu,
untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang
telah mempunyai P3B dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan
apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya berada di
Indonesia.
Wajib Pajak Luar Negeri yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam KMK- 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri adalah sebagai berikut:
Wajib Pajak Luar Negeri yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pengalihan Saham
Selain atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dari penjualan harta, Wajib Pajak Luar Negeri juga dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari pengalihan saham.
Berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/KMK.04/1999, atas penghasilan
Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap dari penjualan saham
Perseroan Terbatas yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau
tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik di Indonesia
dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh
persen) dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto yang
dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga
jual.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%.
Dalam hal pembeli adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang sahamnya diperjualbelikan tersebut. Pencatatan
akta pemindahan hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi
bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.
Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Premi Asuransi
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Menteri Keuangan berwenang menetapkan besaran perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa premi yang diterima oleh perusahaan asuransi luar negeri. Terhadap perkiraan penghasilan neto tersebut dipotong pajak dengan tarif 20% (dua puluh persen).Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam KMK- 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri adalah sebagai berikut:
- atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
- atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
- atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
- lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya;
- lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar;
- lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak.
Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri Melaui BUT : Branch Profit
“Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”Pengecualian pengenaan branch profit tax diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
- penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
- penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
- pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
- investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
- penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya, setelah tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan; dan
- BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertuis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi secara komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
- Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akta pendiriannya paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan dan BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial;
- Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia dan BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
- Untuk pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia atau investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pelayaran dan Penerbangan Internasional
Pada
dasarnya dalam P3B hak pemajakan atas perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan dengan jalur lalu lintas internasional adalah di negara dimana tempat manajemen efektif perusahaan itu berada.
Dalam
ketentuan domestik perpajakan di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk
perusahaan pelayaran dan/ atau penerbangan luar negeri diatur dengan
norma penghitungan khusus yang terdapat pada pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan, dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996.
Perlu diperhatikan bahwa Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar
negeri atas penghasilan yang diterima dari kegiatan operasional jalur
lintas domestik dan jalur lintas internasional yang berasal dari Indonesia.
Hal
ini di karenakan sumber penghasilannya berasal dari Indonesia.
Sedangkan atas penghasilan dari kegiatan operasional jalur lalu lintas
internasional yang berasal dari luar negeri ke wilayah Indonesia maka
Indonesia tidak berhak mengenakan pajak.
Dalam
KMK-417/KMK.04/1996 diatur bahwa penghasilan neto Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri adalah sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto,
yaitu semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan Luar Negeri dari pengangkutan orang dan/ atau barang yang
dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari
pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
Besarnya Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap Wajib Pajak tersebut adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/ atau Penerbangan Luar Negeri dan bersifat final.
Dengan
adanya P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, maka dalam
mengaplikasikan pengenaan pajak terhadap Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan Asing sudah tentu harus melihat isi dari P3B antara
Indonesia dengan Negara Mitra tersebut terutama pada article General Definitions dan article Shipping and Air Transport karena tidak setiap P3B mengaplikasikan hak pemajakan yang sama antara satu dengan yang lainnya.
Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA)
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 634/KMK.04/1994, penghasilan neto dari Wajib Pajak Luar Negeri yang memiliki Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto, dan pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto.
Nilai
ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan
Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau
badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/ PJ.03/2008 memberikan penegasan atas pertanyaan yang timbul terhadap pengenaan pajak kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia. Dalam suratnya, Direktur Jenderal Pajak menegaskan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud dalam KEP-667/PJ./2001 adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai P3B.
Sedangkan untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari Negara Mitra atau yurisdiksi mitra P3B, besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.
Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/ PJ.03/2008 memberikan penegasan atas pertanyaan yang timbul terhadap pengenaan pajak kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia. Dalam suratnya, Direktur Jenderal Pajak menegaskan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud dalam KEP-667/PJ./2001 adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai P3B.
Sedangkan untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari Negara Mitra atau yurisdiksi mitra P3B, besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.
Untuk Kantor
Perwakilan Dagang yang yang dikecualikan dari Bentuk Usaha Tetap sesuai
dengan P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra atau yurisdiksi mitra,
maka hak pemajakannya berada di negara domisili dimana Wajib Pajak Luar
Negeri tersebut terdaftar sebagai resident.
Dengan demikian, pengenaan pajak kepada Kantor Perwakilan Dagang Asing yang berasal dari negara mitra P3B dapat dilakukan serpanjang kegiatan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Dagang Asing dimaksud tidak termasuk pada kegiatan yang dikecualikan sebagai bentuk usaha tetap, sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku.
P3B (Tax Treaty)
Pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda.
Pencegahan pajak berganda tersebut diatur dengan membatasi hak
pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah
juridiksinya.
Tujuan diadakannya P3B adalah:
Tujuan diadakannya P3B adalah:
- Mencegah terjadinya pemajakan berganda, serta mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion);
- Memberikan kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua Negara;
- Peningkatan investasi dan Sumber Daya Manusia;
- Pertukaran informasi melalui Exchange Of Information (EOI) guna mencegah penghindaran pajak; dan
- Penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP), dan bantuan dalam penagihan pajak.
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”
Kedudukan P3B adalah lex specialist terhadap
Undang-Undang domestik (aturan hukum khusus akan mengesampingkan aturan
hukum umum). Artinya jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik
yang bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan
adalah ketentuan P3B. Dalam menentukan hak pemajakan, azas yang
digunakan adalah sumber penghasilan, status kewarganegaraan, dan status
kependudukan.Pada awalnya tax treaty bertujuan mengurangi double taxation sehingga aturan yang ada dalam tax treaty mengurangi hak pemajakan both contracting states. Kelemahan ini kemudian dimanfaatkan tax planner untuk menghindari pajak sehingga wajib pajak bebas pajak. Negara-negara kemudian sadar adanya double non-taxation.
klik gambar biar lebih jelas |
Dalam perpajakan internasional, terdapat 3 (tiga) metode hak pemajakan.
- Pertama, pemajakan unilateral dimana hak pemajakan di dalam wilayah kedaulatan Indonesia diatur sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia dan berlaku bagi seluruh masyarakat atau badan internasional yang ada di wilayah Indonesia.
- Kedua, metode pemajakan bilateral (tax treaty) dimana hak pemajakan diatur melalui perjanjian antara kedua negara yang mengatur hak pemajakan atas penghasilan dan warga negara kedua belah pihak.
- Ketiga, metode pemajakan multilateral (tax convention) yang didasari oleh konvensi internasional dimana ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan digunakan untuk kepentingan negara-negara tersebut.
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian P3B diantaranya adalah:
- subjek pajak yaitu pengaturan terhadap Subjek Pajak Dalam Negeri, Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
- objek pajak yaitu antara lain penghasilan atas kegiatan usaha, penghasilan atas penjualan saham dan aset, dividen, bunga, royalti, dan penghasilan atas jasa tertentu;
- jenis pajak, tarif, dan kondisi khusus lainnya yang secara umum menjadi sengketa atau rentan terjadi pemajakan berganda; serta
- prosedur dalam melaksanakan MAP, EOI, dan bantuan penagihan pajak.
Sedangkan metode penghindaran pajak berganda yang digunakan yaitu dengan pembebasan/pengecualian pajak, kredit pajak, dan metode lainnya seperti pembagian/pengurangan tarif dan pemajakan dengan jumlah tetap.
Model perjanjian yang digunakan di Indonesia adalah:
- Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Merupakan model P3B untuk negara-negara maju. Model ini mengedepankan asas domisili Negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal.
- Model UN (United Nation). Merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, dimana hak pemajakan berada pada Negara yang memberi penghasilan.
Treaty Shopping dan pencegahan penyalahgunaan P3B
Treaty Shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B, dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut. Entitas tersebut sering disebut perusahaan cangkang atau special porpose vehicle (SPV).Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai penyalahgunaan P3B (yang memuat persyaratan beneficial owner (BO)) :
- Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
- Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
- Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO).
Sedangkan persyaratan tidak terjadinya penyalahgunaan P3B dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri merupakan Wajib Pajak badan :
pertama: Wajib Pajak Luar Negeri merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal (listed company) dan diperdagangkan secara teratur;
kedua : bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak memuat persyaratan beneficial owner, Wajib Pajak Luar Negeri menjawab bahwa pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B.
Sedangkan bagi WPLN untuk dapat memperoleh manfaat P3B harus memenuhi syarat administratif yaitu:
CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan caramenangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.
Untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa :
ketiga : penghasilan yang di dalam P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner, Wajib Pajak Luar Negeri menjawab (lihat Form DGT-1):
- pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
- kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
- perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan
- mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
- penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
- tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
Kewajiban Pemotong/Pemungut Pajak dan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dalam pelaksanaan P3B
Pemotong/Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:- penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia;
- persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
- tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan dan penyalahgunaan P3B.
Sedangkan bagi WPLN untuk dapat memperoleh manfaat P3B harus memenuhi syarat administratif yaitu:
- Menggunakan formulir Form-DGT 1 dan Form-DGT 2, mengisi dengan lengkap dan menandatanganinya;
- Formulir tersebut telah disahkan oleh pejabat yang berwenang (Competent Authority) di Negara tempat WPLN terdaftar sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri; dan
- Menyampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT masa untuk masa terutangnya pajak.
Form-DGT 2 digunakan dalam hal:
- WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
- WPLN bank; atau
- WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Negara Mitra P3B Indonesia dan merupakan Subjek Pajak di Negara Mitra P3B Indonesia.
Surat Keterangan Domisili (SKD)
Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence (COD) digunakan untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tertentu adalah Subjek Pajak Dalam Negeri (resident) dari suatu Negara tertentu yang menandatangani P3B.
SKD adalah
persyaratan administratif bagi WPLN untuk menggunakan fasilitas yang ada
dalam P3B. Apabila WPLN tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan
oleh otoritas negaranya dalam laporan perpajakannya di Indonesia, maka
pemotong/pemungut pajak wajib memotong/memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Begitu pula
dengan WPDN Indonesia yang memperoleh penghasilan dari Negara Mitra,
apabila WPDN Indonesia tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh
otoritas Indonesia maka WPDN tersebut akan dikenakan pajak atas
penghasilan dari Negara Mitra sesuai peraturan perpajakan yang berlaku
di Negara Mitra tersebut.
SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan KPP domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap.
SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan KPP domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap.
Formulir SKD
yang diterbitkan adalah form DGT-7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
II PER-35/PJ/2010 atau menggunakan formulir khusus yang digunakan oleh
Negara Mitra P3B. Masa berlaku SKD adalah 12 bulan sejak tanggal
disahkan.
Isi
SKD menerangkan bahwa Wajib Pajak bersangkutan adalah Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia, yang berdomisili/menjalankan usahanya di wilayah KPP
domisili dan telah melaporkan SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak yang
dimaksud. Bagi Wajib Pajak luar negeri, SKD yang diterbitkan Negara
Mitra adalah sesuai kelaziman di Negara tempat WPLN berkedudukan, namun
sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa WPLN yang bersangkutan benar
bekedudukan di Negara tersebut sesuai dengan peraturan P3B yang berlaku,
disertai dengan tanggal dan tanda tangan pejabat yang menerbitkan SKD
tersebut.
terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berupa:
Atau terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak:
Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak terutang
Wajib Pajak Luar Negeri dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang dalam hal:terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berupa:
- pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B;
- pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;
- pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
- pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
Atau terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak:
- pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
- pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
- pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.
Sedangkan
bila pihak yang dipotong atau dipungut merupakan Wajib Pajak Luar
Negeri yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia, permohonan pengembalian dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
Permohonan
pengembalian diajukan atas suatu bukti pembayaran, bukti
pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain yang
dipersamakan dengan faktur pajak. Diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan format sesuai peraturan beserta lampiran
terkait dan ditandatangani oleh Wajib Pajak terkait ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar.
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak melalui KPP terkait melakukan peneltian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak melalui KPP terkait melakukan peneltian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
CONTROLLED FOREIGN COMPANY (CFC)
Controlled Foreign Corporation adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan caramenangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.
Untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa :
“Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.”Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 256/PMK.03/2008 yang mengatur saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.
Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak tersebut adalah ditentukan sebagai berikut:
Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan ini menerangkan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya kredit pajak tersebut adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang PPh.
- pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
- pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan ini menerangkan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya kredit pajak tersebut adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang PPh.
klik gambar untuk memperbesar |
SPECIAL PURPOSE COMPANY
Special Purpose Company adalah adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara.
Perusahaan ini
biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan
hukum yang menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran
(conduit) dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan
yang diperoleh dengan cara mendirikan perusahaan di salah satu Negara
Mitra P3B (treaty shopping).
Tujuan
pembentukan SPC tersebut tidak selalu untuk mendapatkan harga saham atau
aktiva di bawah harga pasar, yang paling sering adalah sebagai
perusahaan “bentukan” untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas
perpajakan yang disediakan dalam P3B antara Indonesia dengan Negara
Mitra.
Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:
“Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.”
Peraturan
tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 140/PMK/2010
yang menjelaskan bahwa pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan
dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk
maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
Walaupn
dilakukan oleh SPC tetapi sebenarnya yang melakukan pembelian dimaksud
Wajib Pajak Dalam Negeri sepanjang Wajib Pajak Dalam Negeri yang
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk
maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose
company); dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.
Sedangkan saham yang dimaksud adalah:
- Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
- Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.
Penjualan atau pengalihan saham SPC
Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:“Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindung pajak (tax haven country) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.”
Peraturan
tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 258/PMK.03/2008
yang menjelaskan bahwa atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
saham perusahaan antara tersebut dikenakan PPh final sebesar 20% dari
penghasilan netto yaitu 25% dari harga jual.
Apabila
saham tersebut dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, maka pihak yang
ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau
berkedudukan di Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang
saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan harus mencatat
akta pemindahan hak atas saham yang dijual.
MUTUAL AGREEMENT PROCEDURES (MAP)
Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Competent Authority atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara Mitra P3B antara lain berasal dari penyesuaian akibat koreksiTransfer Pricing, permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent establishment), karakterisasi atas suatu penghasilan, tindakan lain yang tidak sesuai dengan peraturan dalam P3B.
MAP dilaksanakan dalam hal terdapat :
MAP dilaksanakan dalam hal terdapat :
- permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
- permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku;
- permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
- hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.
Permintaan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
Permintaan untuk melaksanakan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dilakukan antara lain dalam hal:- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai Hubungan Istimewa;
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dari salah satu negara tersebut.
- nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan;
- tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
- Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
- pihak yang dapat dihubungi oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
- nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.
- permintaan disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku dengan Negara Mitra;
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan dimaksud; atau
- Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud;
ADVANCED PRICING AGREEMENT (APA)
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/ atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Kriteria-kriteria tersebut diantaranya penentuan metode Transfer Pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahanTransfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa:
Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahanTransfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.”
Keuntungan dari Advance Pricing Agreement (APA)
selain untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan
pajak, Fiskus tidak perlu lagi melakukan koreksi dalam pemeriksaan atas
harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada
perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral,
yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan
negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah
yurisdiksinya.
Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal (prelodgement) menggunakan formulir APA-1 dengan melampirkan persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report) yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Yang didalamnya memuat:
Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal (prelodgement) menggunakan formulir APA-1 dengan melampirkan persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.
Tahapan pembahasan APA:
Pembicaraan awal (prelodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;- penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal;
- pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;
- penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
- pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.
Pembahasan APA
Topik yang dibahas dalam APA antara lain:- ruang lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh Kesepakatan Harga Transfer;
- Analisis Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data pembanding;
- penentuan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
- kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode Penentuan Harga Transfer; dan
- perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan negara/jurisdiksi lain.
Tindak lanjut pelaksanaan hasil APA
Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud belum pernah dilakukan pemeriksaan; belum pernah diajukan keberatan atau banding oleh Wajib Pajak; dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.Dalam pelaksanaan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report) yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Yang didalamnya memuat:
- kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dalam transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
- penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
- penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical assumptions) penerapan metode Penentuan Harga Transfer.
RANGKUMAN TAX TREATY
Resident Tie Breaker
Resident Tie Breaker adalah prosedur untuk menentukan seseorang “penduduk” negara mana. Penduduk atau resident adalah kelaziman dalam perpajakan Internasional karena perpajakan pada umumnya tidak mengenal kewarganegaraan sebagai penentu. Siapa harus tunduk pada aturan siapa mengacu pada kependudukan (sering juga disebut domisili).Jadi Resident Tie Breaker berfungsi sebagai penentu bagi permasalahan dual resident.
Resident Tie Breaker dilakukan secara berurutan dan bertahap sesuai dengan tax treaty yang sudah ditanda-tangani. Ada dua jenis Resident Tie Breaker, yaitu satu untuk individu atau sering disebut Wajib Pajak Orang Pribadi, kedua untuk persons other than individual atau kita sebut jasa wajib pajak badan.
Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri: Tempat tinggal (Permanent Home), pusat kepentingan (Centre of Vital Interests), kebiasaan berdiam (Habitual Abode), status kewarganegaraan (Nationality), Citizenship, dan prosedur kesepakatan (Mutual Agreement Procedures). Kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.
Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada.
Ada 39 tax treaty yang menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, dan terakhir Mutual Agreement Procedures.
Sebanyak 22 tax treaty menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, Nationality, dan terakhir Mutual Agreement Procedures.
Istilah Citizenship hanya digunakan dalam satu tax treaty yang kedudukannya sama seperti Nationality. Menurut saya, urutan yang kedua sama saja dengan ketiga.
Sedangkan Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Badan terdiri: MAP (Mutual Agreement Procedures); POCM (Place of Control and Management); POEM (Place of Effective Management); POI (Place of Incorporation); POO (Place of where it is organised).
Ada 29 tax treaty yang hanya menggunakan Mutual Agreement Procedures untuk menentukan dual resident, 26 tax treaty hanya menggunakan Place of Effective Management, dan 3 tax treaty hanya menggunakan Place of Incorporation.
Permanent Establishment
Permanent Establishment diterjemahkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Undang-Undang Pajak Penghasilan mendefinisikan BUT sebagai “kendaraan” Wajib Pajak Luar Negeri untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Kalimat lengkapnya seperti ini,“Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia”.
Tetapi dalam konteks tax treaty, Permanent Establishment adalah batas kewenangan Indonesia mengenakan pajak.
Tax treaty biasanya mengatur hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty.
Jika terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty, maka Indonesia berhak mengenakan pajak sesuai tax treaty. [pada kebanyakan, Indonesia sebagai negara sumbber].
Pada dasarnya, Permanent Establishment dikelompokkan ke dalam empat tipe :
Satu: Tipe Aset.
Permanent Establishment Tipe Aset memiliki ciri fixed place yang dapat dirinci menjadi tiga pengujian [test], yaitu :
Dan syarat fixed place inilah yang banyak dimanfaatkan oleh perusahaan digital. Fixed place menjadi kelemahan tax treaty sejak industri internet berkembang.
Permanent Establishment Tipe Aset memiliki ciri fixed place yang dapat dirinci menjadi tiga pengujian [test], yaitu :
- place of business, yaitu tempat atau prasarana seperti tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa.
- fixed, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap.
- doing business through that fixed place, yaitu kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.
Dan syarat fixed place inilah yang banyak dimanfaatkan oleh perusahaan digital. Fixed place menjadi kelemahan tax treaty sejak industri internet berkembang.
Dua: Tipe Aktivitas
Permanent Establishment tipe aktivitas ada dua:
Ada juga tax treaty yang mengatur time test untuk Exploration. Negara yang menyebutkan time test untuk Pengeboran Lepas Pantai (Drilling Rig or Working Ship) adalah Amerika, Australia, Kroasia (120 hari); Hong Kong (183 hari); Sri Lanka (90 hari); dan Cina (6 bulan).
Tiga: Tipe agen
Tidak semua agen merupakan Permanent Establishment. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Nah, agen yang manjadi Permanent Establishment adalah agen tidak bebas. Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai Permanent Establishment jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas.
Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan menjadi Permanent Establishment dengan syarat :
Semua tax treaty mengatur kewenangan untuk menutup kontrak atas nama perusahaan yang diwakilinya. 55 tax treaty mengatur masalah mengelola dan melakukan pengiriman barang dagangan milik perusahaan. Belanda, Inggris, Jepang, Malaysia, Polandia, Suriname hanya menyebutkan ketentuan mengelola barang (tidak menyebutkan melakukan pengiriman barang). Uni Emirat Arab menyebutkan ketentuan mengelola dan menjual barang (tanpa menyebutkan melakukan pengiriman barang).
Empat: Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan Permanent Establishment asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.
UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai Permanent Establishment apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7). Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Permanent Establishment adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.
Ada 44 tax treaty Indonesia dengan negara mitra yang mengatur perusahaan asuransi secara khusus.
Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.
Selain laba atas partisipasi di pool, joint business; agency internasional; 14 negara menyebutkan sumber penghasilan lain yang termasuk dalam pasal ini yaitu laba atas penggunaan, sewa dan perawatan container; serta rental on bare boat basis yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, India, Kroasia, Maroko, Portugal, Arab Saudi, Slovakia, Syria, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Uzbekistan.
Sedangkan perjanjian yang mengatur pengecualian atas pengasilan tertentu adalah Australia, Denmark, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Norwegia, Romania, Swedia, Syria, dan Venezuela.
Permanent Establishment tipe aktivitas ada dua:
- proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi (pengawasan) untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja.
- kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan. Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b. Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas. Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test.
NO
|
NEGARA
|
TES WAKTU
| ||||
Konstruksi
|
Instalasi
|
Perakitan
|
Kegiatan Pengawasan
|
Jasa Lainnya
| ||
1.
|
ALGERIA
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan/12bulan
|
2.
|
AUSTRALIA
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari/12bulan
|
3.
|
AUSTRIA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12bulan
|
4.
|
BANGLADESH
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
91 hari/12 bulan
|
5.
|
BELGIUM
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari/ 12bulan
|
6.
|
BRUNEI DARUSSALAM
|
183 hari
|
3 bulan
|
3 bulan
|
183 hari
|
3 bulanl12bulan
|
7.
|
BULGARIA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
120 haril 12bulan
|
8.
|
CANADA
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 haril 12 bulan
|
9.
|
CZECH
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
10.
|
CHINA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan/ 12bulan
|
11.
|
DENMARK
|
6 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
6 bulan
|
3 bulanl 12 bulan
|
12.
|
EGYPT
|
6 bulan
|
4 bulan
|
4 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/1 2bulan
|
13.
|
FINLAND
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulanl1 2bulan
|
14.
|
FRANCE
|
6 bulan
|
n/a
|
6 bulan
|
183 hari/12 bulan
|
183 haril 12 bulan
|
15.
|
GERMANY
|
6 bulan
|
6 bulan
|
Tidak Ada
|
Tidak Ada
|
7,5 % 1
|
16.
|
HUNGARY
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
4 bulan/12bulan
|
17.
|
INDIA
|
183 hari
|
183 han
|
183 hari
|
183 hari
|
91 hari/ 12bulan
|
18.
|
IRAN
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari/12bulan
|
19.
|
ITALY
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12bulan
|
20.
|
JAPAN
|
6 bulan
|
6 bulan
|
Tidak Ada
|
6 bulan
|
6 bulan/tahunpajak2
|
21.
|
JORDAN
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
1 bulan/12bulan
|
22.
|
KOREA, REPUBLIC OF
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
23.
|
KOREA. DEMOCRATIC PEOPLE'S REPUBLIC OF
|
12 bulan
|
12 bulan
|
12 bulan
|
12 bulan
|
6 bulan/12 bulan
|
24.
|
KUWAIT
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
25.
|
LUXEMBOURG
|
5 bulan
|
5 bulan
|
5 bulan
|
5 bulan
|
10% 3
|
26.
|
MALAYSIA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
27.
|
MEXICO
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
91 hari/12 bulan
|
26.
|
MONGOLIA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
29.
|
NETHERLANDS
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
30.
|
NEW ZEALAND
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
31.
|
NORWAY
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
32.
|
PAKISTAN
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
15% 4
|
33.
|
PHILIPPINES, TH E
|
6 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
6 bulan
|
183 hari/12 bulan
|
34.
|
POLAND
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hart
|
120 hari/12 bulan
|
35.
|
PORTUGAL
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari/12 bulan
|
36.
|
QATAR
|
6 bulan
|
6 Bulan
|
6 Bulan
|
6 Bulan
|
6 bulan/12 bulan
|
37.
|
ROMANIA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
4 bulan/12 bulan
|
38.
|
RUSSIA
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
Tidak ada 5
|
39.
|
SAUDI ARABIA "
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
40.
|
SEYCHELLES
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
41.
|
SINGAPORE
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
6 bulan
|
90 hari/12 bulan
|
42.
|
SLOVAK
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
91 hari/12 bulan
|
43.
|
SOUTH AFRICA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
120 hari/12 bulan
|
44.
|
SPAIN
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
3 bulan/12 bulan
|
45.
|
SRI LANKA
|
90 hari
|
90 hari
|
90 narl
|
90 hari
|
90 hari/12 bulan
|
46.
|
SUDAN
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
47.
|
SWEDEN
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
46.
|
SWITZERLAND
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
5% 6
|
49.
|
SYRIA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari/12 bulan
|
50.
|
TAIWAN
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
120 hari/12 bulan
|
51.
|
TH AILAND
|
6 bulan
|
8 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari
|
52.
|
TUNISIA
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
53.
|
TURKEY
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari/12 bulan
|
54.
|
U.A.E
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
55.
|
UKRAINE
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
4 bulan/12 bulan
|
56.
|
UNITED KINGDOM
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
91 hari/12 bulan
|
57.
|
UNITED STATES
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 haril12 bulan
|
58.
|
UZBEKISTAN
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
59.
|
VENEZUELA
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
10%7
|
60.
|
VIETNAM
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bula n
|
6 bulan
|
3 bulan/12 bulan
|
- jasa lainnya dalam P3B RI-Jerman dikenakan pajak 7,5% dari fee untuk jasa-jasa teknik (Pasal 12 P3B RI-Jerman)
- meliputi jasa konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 5 P3B RI-Jepang
- jasa lainnya dalam P3B RI-Pakistan dikenakan pajak 10% dari fee untuk jasa-jasa teknik (Pasal 12 P3B RI-Luxembourg)
- jasa lainnya dalam P3B RI-Pakistan dikenakan pajak 15% dari fee untuk jasa-jasa teknik, meliputi jasa manajerial, jasa teknis maupun jasa konsultasi (Pasal 13 P3B RI-Pakistan)
- untuk menentukan timbulnya BUT tidak diperlukan time test
- pajak atas jasa-jasa konsultasi dan lainnya dalam P3B RI-Swiss dikenakan pajak 5% dari jumlah pembayaran bruto (Pasal 13 P3B RI-Swiss)
- dalam hal fee atas bantuan teknis meliputi pemberian segala macam jasa termasuk jasa konsultasi, jasa manajerial dan jasa teknis yang berkaitan dengan pengetahuan teknik, pengalaman, ketrampilan, metode atau proses,namun tidak termasuk pembayaran atas jasa-jasa profesional sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 15 P3B RI-Venezuela dikenakan pajak 10% dari jumlah bruto pembayaran (Pasal 12 P3B RI-Venezuela)
Ada juga tax treaty yang mengatur time test untuk Exploration. Negara yang menyebutkan time test untuk Pengeboran Lepas Pantai (Drilling Rig or Working Ship) adalah Amerika, Australia, Kroasia (120 hari); Hong Kong (183 hari); Sri Lanka (90 hari); dan Cina (6 bulan).
Tiga: Tipe agen
Tidak semua agen merupakan Permanent Establishment. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Nah, agen yang manjadi Permanent Establishment adalah agen tidak bebas. Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai Permanent Establishment jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas.
Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan menjadi Permanent Establishment dengan syarat :
- Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
- Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.
- Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.
Semua tax treaty mengatur kewenangan untuk menutup kontrak atas nama perusahaan yang diwakilinya. 55 tax treaty mengatur masalah mengelola dan melakukan pengiriman barang dagangan milik perusahaan. Belanda, Inggris, Jepang, Malaysia, Polandia, Suriname hanya menyebutkan ketentuan mengelola barang (tidak menyebutkan melakukan pengiriman barang). Uni Emirat Arab menyebutkan ketentuan mengelola dan menjual barang (tanpa menyebutkan melakukan pengiriman barang).
Empat: Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan Permanent Establishment asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.
UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai Permanent Establishment apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7). Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Permanent Establishment adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.
Ada 44 tax treaty Indonesia dengan negara mitra yang mengatur perusahaan asuransi secara khusus.
Immovable Property
Seluruh tax treaty yang disepakati Indonesia memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana immovable property tersebut berada (where the immovable property situated). Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable property berada, dikurangi 50%.Shipping and Air Transport (Taxing rights)
Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.
Selain laba atas partisipasi di pool, joint business; agency internasional; 14 negara menyebutkan sumber penghasilan lain yang termasuk dalam pasal ini yaitu laba atas penggunaan, sewa dan perawatan container; serta rental on bare boat basis yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, India, Kroasia, Maroko, Portugal, Arab Saudi, Slovakia, Syria, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Uzbekistan.
Sedangkan perjanjian yang mengatur pengecualian atas pengasilan tertentu adalah Australia, Denmark, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Norwegia, Romania, Swedia, Syria, dan Venezuela.
http://pajaktaxes.blogspot.co.id/p/pajak-internasional.html
NEXT PAJAK INTERNASIONAL
Akuntansi Internasional Tugas 2 : "Perpajakan Internasional"
1.1 Pajak Internasional
Definisi
Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik
ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi
Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak,
memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak
Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.
“Pajak
Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara
negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan
pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina
(Pacta Sunservanda).”
Dengan
demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap
badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat
perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negri, dan
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri(domestik).
Dimensi
pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau
transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena
umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi
kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi
(ke) dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya
melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya
pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili
(residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan
oleh negara sumber (source country)
Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Setiap
kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga
dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang
ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju
investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk
meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut.
Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan
penghindaraan pajak berganda internasional.
Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netraliats yang harus dipenuhi dalam kebijakan pemajakan internasional:
1. Capital
Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita
berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada
bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan
sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar
karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh
Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital
Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun
investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor
dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama
bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang
sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang
perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan
yang berlaku.
3. National
Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang
sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan
boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
1.2 Pemajakan Transaksi Lintas Negara
Pemajakan
berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena
adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global
principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri
dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak).
Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib
pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh
negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua
kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A
punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak
oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan
penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik
Indonesia.
Bentokran
klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua
negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam
negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali.
Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap
sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN
oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan
membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun
Singapura.
Dalam
kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan
perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara
sumber (source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang
merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident
country) yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal,
berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik
negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan
pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua
yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang
biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur
dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
1.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation
Dalam
komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara
pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda
ekonomis (economic double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi
apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama
dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda
ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan
pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Atas
perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai
definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI
yuridis) dan konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi
legal,pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara
dan pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara
lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek
hokum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam
kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu
kesatuan ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila
penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada sekutu, atau
kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat
(beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota
keluarga.
Dalam
komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan
tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila
suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang
(subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul
apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas
suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari
satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari
satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama
(legal identityof subject). Di pihak lain, PBI ekonomis meliputi
pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun
secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang
terdapat hubungan (economic identity of subject).
1.4 Hukum Pajak internasional
Ottmar
buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan hukum
pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam
arti sempit adalah (Agus Setiawan, 2006):
“Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional),”
Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:
“Kaedah-kaedah
hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek
hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional dalam arti luas termasuk sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional
b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-lain perjanjian internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
i. Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
ii. Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan;
iii. Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht.
Menurut Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.”
Menurut
PJA Adriani, “Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan
yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya
beli itu di masing-masing negara.”
Pengertian
Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih
luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu
termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional
merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur
dalam Undang-undang nasional mengenai :
a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;
c. Traktat-traktat.
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut :
1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National External Tax Law);
2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
3. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law).
National External Tax Law
National
External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat
ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja
sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing,
baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai
subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
Foreign Tax Law
Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
Internasional Tax Law
Internasional
Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang
berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik
oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan
antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan
Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah
baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip
hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di Dunia,maupun
kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai obyeknya pangenaan pajak
dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin
dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
i. Hukum Pajak Internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik ruang lingkup, kewenangan, dan kedudukannya;
ii. Hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan negara domisili;
iii. Hukum Pajak Nasional adalah merupakan bagian dari Hukum Pajak Internasional yang digunakan;
iv. Hukum
Pajak Internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di
berbagai negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada Hukum
Pajak Nasional;
v. Hukum Pajak
Internasional dalalam arti sempit adalah Hukum Pajak Internasional yang
mengatur kedua negara yang saling berkepentingan, sedangkan Hukum Pajak
Internasional dalam arti luas adalah Hukum Pajak Internasional yang
berlaku bagi seluruh negara.
1.5 Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional
Sumber-sumber
Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga
dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum
terebut antara lain :
A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a. Peraturan
Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.”;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak;
d. Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek
Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang:
Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;
g. Peraturan
Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas
Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
a. Perjanjian bilateral;
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
c. Perjanjian multirateral
Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional.
Hal
ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan
internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan
Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam
penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan
hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu
perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur
hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan
kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta
pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi
Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional
masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui
Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai
negara.
Menurut
Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga
perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat
antar negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat
ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun
mengenai obyeknya.
Kekuasaan
Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun
kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan
negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang
dapat membatasi wewneng ini.
Apabila
negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka
negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang
mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan
dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadapperekonomian
negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia
harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.
1.6 Prinsip Non-Diskriminasi
Ketentuan
non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang
perpajakan bagi warganegara dari suatu negara treaty partner yang
melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang
dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya
dibandingkan warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang
sama (the same circumstances).
Ketentuan
non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari
perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya
atau perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian
atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak
langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun,
ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan
keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan
(deductions) pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk
dari negara yang disebutkan pertama di atas.
1.7 Pengertian Tax Avoidance, Tax Planning, dan Tax Evasion
Sebagai
perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan
domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban
pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari
suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan
menjadi:
1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Antara
suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya
tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax
avoidance atauunacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja
suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara
lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah
lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang
tidak diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk
penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Dalam
buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan “sebagai
suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan
suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema
tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan
perpajakan. Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti
yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax
avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum
tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”, atau
berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of
parliament).
Tax
planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak
menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax
evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang
dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara
tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara
fiktif.”
Berkaitan
dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah
suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran
pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan?
Dalam
konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa
dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema
seperti (i) transfer pricing,(ii) thin capitalization, (iii) treaty
shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC). Pada umumnya
dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat
menjalankan dalam bentuk:
1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:
a. Memindahkan
subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
b. Memindahkan
objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
c. Memindahkan
subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax
object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau
negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas
suatu jenis penghasilan.
2. Formal tax planning
Melakukan
penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi
dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis
transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
1.8 Ketentuan tentang Anti Avoidance
Dalam
menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax
planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan
ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:
1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR),
yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang
semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan
penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi
bisnis.
Di
banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu
ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax
avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak
tidak lagi bersifat defensive tax planning lagi
tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi
semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu
entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven
country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning olehAustralian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:
1. Transaksi
yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada
tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.
3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan datang.
5. Memanfaatkan
suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas
usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini,
belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax
planning, acceptable tax avoidance dan unacceptable tax
avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan
penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak
dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang
menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dari
sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema
penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini
dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi,
di sisi lain, pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai
suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk
semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan
negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak
maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance,
dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR)
maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan
rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, baik
untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam
ketentuan materialnya.
1.9 Pengertian Pajak Ganda Internasional
Knechtle
(1979) membedakan pengertian pajak berganda dalam dua pengertian, yaitu
pajak ganda dalam arti luas (wider sense) dan pajak ganda dalam arti
sempit. (narrower sense). Dalam pengertian luas, pajak berganda meliputi
setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu
kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih (multiple
taxation) atas suatu fakta fiskal (subjek dan/atau objek pajak). Dalam
arti sempit, pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus
pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam
satu admisitrasi pajak yang sama.
Pengertian
tersebut mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah dan
bagian administrasinya yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat. Pajak berganda tersebut dapat disebabkan oleh
pemajakan oleh penguasa tunggal (singular power) atau oleh berbagai
(lapisan) administrasi (plural power). Pemajakan ganda oleh admisitrator
tunggal, misalnya dapat terjadi pada pemajakan terhadap bangungan atas
nilai jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak
Penghasilan atas sewa atau keuntungan transfernya). Pajak berganda
tersebut sering disebut pajak berganda ekonomis (economic double
taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat terjadi
secara vertical (pemerintah pusat dan daerah), horizontal
(antarpemerintah daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten
dengna provinsi A, atau provinsi B)
Sementara
itu, hubungan ekonomi internasional yang semula hanya diwarnai dengan
pertukaran barang, migrasi sumber daya manusia, transaksi jasa lintas
perbatasan, kini telah semakin luas ruang geraknya dengan ditandai
semakin meningkatnya arus modal dan pembiayaan antar negara serta
semakin berperannya sektor informasi, dan semua itu berjalan tidak
sendiri-sendiri, melainkan saling kait mengait. Lalu lintas barang dan
pertukaran sumber daya internasional, jasa dan modal serta informasi
mempunyai sifat ketergantungan satu dengan yang lain.
1.10 Penyebab Pajak Berganda Internasional
Pemajakan
atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan
domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda
internasional (international double taxation). Oleh para investor dan
pengusaha, pajak ganda tersebut dianggap kurang memperlancar mobilitas
arus investasi, bisnis, dan perdagangan internasional. oleh karena itu,
perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur dalam
ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya
juga diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam
modul ini disebut PBI) muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi
pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun
pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada
masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the
international sphere).
Sementara
orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi?
Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan
melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai
pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan
berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestik.
Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak
tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap
subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah
kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi
benturan hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di
negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup
rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai
pemegang hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang dikenakan
di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder (secondary
taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh
pembayar pajak.
Dalam
Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor
menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara
asal barang dan jasa), dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip
negara tujuan (destination principle;Pemajakan oleh negara tujuan atau
negara konsumen).
PBI
berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di
awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara
negara-negara mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian
hak pemajakan secara tidak bersamaan.
1.11 Azas-azas Perpajakan dan Timbulnya Pajak Berganda Internasional
Indonesia,
sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk
mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang
atau objek yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Yurisdiksi
pemajakan (tax jurisdiction) sebagai kedaulatan dalam bidang perpajakan
merupakan konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu negara (Knechtle,
1979). Sehubungan dengan yurisdiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut
empat teori jusitifikasi legal hak pemajakan suatu negara:
a. realistis atau empiris,
b. etis atau retributive,
c. kontraktual, dan
d. soveranitas.
Teori
soveranitas menegaskan bahwa pemajakan adalah merupakan suatu bentuk
pelaksanaan dari yurisdiksi dan yurisdiksi merupakan atribut
(kelengkapan) dari soveranitas. Sumber dari hak pemajakan (right to tax)
suatu negara berasal dari soveranitas (kedaulatan) negara tersebut.
Sebagai kebutuhan histories (akan adanya suatu negara), hak dan
kewajiban utama suatu negara adalah untuk mengamankan dan melestarikan
keberadaannya. Untuk keperluan itu, negara mempunyai hak untuk meminta
sesuatu (kontribusi pajak) dari siapa saja yang berada di bawah
kewenanagan hukumnya. Berbeda dengan teori retributive yang menekankan
kepada manfaat ekonomis (economic allegiance) yang telah dinikmati
seseorang sebagai justifikasi pemajakan, dengan mendasarkan pada asumsi
bahwa keberadaan negara adalah masalah esensial politis, teori
soveranitas cenderung memberikan justifikasi pemajakan berdasarkan
keterkaitan politis (political allegiance) seseorang terhadap suatu
negara.
Dari
neksus perpajakan (keterkaitannya dengan pemajakan asas penghasilan),
kebanyakan orang mengkristalkan dasar pengenaan pajak pada tiga prinsip:
1. kewarganegaraan,
2. domisili (dan residensi), serta
3. sumber penghasilan (termasuk kekayaan).
Sebagaimana
sering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan ketentuan
Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya berdasarkan
dua kaitan (pertalian) fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif
(personal), dan (b) objektif. Pertalian subjektif memperhatikan status
wajib pajak (tempat tinggal/domisili, keberadaan atau niat dalam kasus
wajib pajak orang pribadi; tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus
badan). Pertalian objektif mendasarkan kepada letak geografis sumber
penghasilan. Surrey (1987) dan Tilinghast (1984) serta the American Law
Institute (1987) menyatakan bahwa yurisdiksi yang mendasarkan pada
pertalian subjektif disebut yurisdiksi domisili atau azas domisili
(domicilary jurisdiction); sedangkan yurisdiksi yang merujuk pada sumber
penghasilan disebut yurisdiksi/azas sumber (source jurisdiction).
a. Azas Domisili
Pasal
2(3) UU PPh menegaskan ketentuan tentang yurisdiksi domisili terhadap
orang pribadi dan badan. Dalam rumusan Pasal 2(1), nampak jelas bahwa
yang tersurat sebagai subjek pajak adalah termasuk warisan yang belum
terbagi dan bentuk usaha tetap (dalam model perjanjian perpajkan disebut
.permanent establishment.). Namun karena warisan yang belum terbagi
pada hakikatnya adalah menggantikan (beberapa) subjek pajak orang
pribadi ahli waris (atau subjek yang meninggalkan warisan( dan bentuk
usaha tetap (BUT) sebagai kriteria ambang batas pemajakan penghasilan
usaha (dan kegiatan) dari perusahaan luar negeri yang dapat merujuk
kepada orang pribadi dan badan, maka pada dasarnya subjek pajak yang
sebenarnya adalah tetap orang pribadi dan badan.
1. Orang Pribadi
Indonesia
mempunyai yurisdiksi domisili atas orang pribadi dengan status wajib
pajak dalam negeri (istilah .dalam negeri. adalah setara dengan
.residen/penduduk yang dipakai oleh kebanyakan negara lain). Pasal 2 (3)
(a) UU PPh menyebut tiga criteria penentu apakah seseorang merupakan
wajib pajak dalam negeri (WPDN) yaitu:
a. tempat tinggal (domisili,
b. keberadaan/kehadiran (presensi), dan
c. niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kriteria
domisili untuk menentukan status WPDN merupakan tambahan oleh UU No. 10
tahun 194 terhadap tes keberadaan dan niat (dalam UU No 7 tahun 1983)
dan sekaligus memperluas yuridiksi domisili pemajakan Indonesia. Menurut
ketentuan Pasal 2(6), apakah seseorang bertempat tinggal di Indonesia
ditentuka menurut keadaan yang sebenarnya. Keadaan yang sebenarnya
tersebut, misalnya, dapat berupa petunjuk formal (kependudukan) atau
substansial (keberadaan keluarga, tempat tinggal, alamat tetap, atau
kepentingan ekonomis dan sosial). Dengan demikian orang yang tidak
berada di Indonesia (selama lebih dari 183 hari) madih sapat dianggap
bertempat tinggal di Indonesia apabila keadaan yang sebenarnya dapat
menunjukkan ha tersebut dan oleh karenanya termasuk WPDN.
Apabila
criteria domisili dapat bersifat subjektif formal, criteria keberadaan
kehadiran merupakan criteria yang bersifat obejktif kuantitatif. Namun
kedua criteria tersebut dibangun berdasar kterkaitan ekonomis (economic
allegiance) seseorang terhadap negara pemungut pajak, sedangkan
pemajakan berdasar kewarganegaraan sering diangggap di bangun berdasar keterkaitan politis (political allegiance).
2. Badan
Pasal
2(3)(b) UU PPh menyebut dua kirteria penentu yurisdiksi domisili
Indonesia atas badan yaitu: (a) tempat pendirian, dan (b) tempat
kedudukan. Setiap badan, termasuk perseroan terbatas, yang didirikan di
Indonesia merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van Raad (1986)
suatu badan, pada umumnya dapat dianggap memperoleh status hukum
(kewarganegaraan atau nasionalitas) di negara berdasarkan hokum siapa
badan tersebut didirikan (.incorporated.). Setiap badan yang didirikan
di Indonesia dianggap bernasonalitas Indonesia.
Dengan
demikian, terhadap badan, Indonesia menganut pertalian (fiskal)
nasionalitas. Akibatnya, semua badan yang didirikan di (berdasarkan
hokum) Indonesia, tanpa memperhatikan tempat manajemen, usaha atau
kedudukannya (di mana pun berada), merupakan WPDN Indonesia.
Namun
dari segi praktik penerapan ketentuan perpajkan, seperti penaftaran,
asesmen, penagihan dan sebagainya, apabila badan tersebut sama sekali
tidak mempunyai perwakilan atau orang di Indonesia perlu dicari upaya
yang efektif untuk pelaksanaan administrative dari ketentuan tersebut.
b. Azas Sumber
Pasal
2(4) UU PPh menegaskan jurisdiksi sumber (.source jurisdiction.) yang
berlaku di Indonesia. Selaras dengan norma yang diterima secara global
(misalnya, Surrey (1987) dan Van Raad (1986)) yurisdiksi sumber
Indonesia mendasarkan pada dua unsure: (a) menjalankan suatu aktivitas
ekonomi secara signifikan, dan (b) menerima atau memperoleh penghasilan
yang bersimber di negara tersebut.
UU
PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjalankan suatu aktivitas
ekonomi secara signifikan ditentukan dengan keberadaan BUT. Apabila
aktivitas ekonomi tersebut sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana diatur
dalam pasal 2(5), Indonesia dapat mengenakan pajak atas penghasilan
dari kegiatan tersebut seperti pemajakan dari penghasilan atas usaha
yang dijalankan oleh orang Indonseia. Dalam bahasa UU PPh, akitivitas
ekonomi ini dapat berupa; (a) menjalankan usaha (bisnis), atau (b)
melakukan kegiatan (profesi atau pekerjaan bebas). Apabila dalam P3B
Model OECD sebelum tahun 2000 terdapat dua konsep, yaitu permanent
establishment (untuk usaha) dan pangkalan tetap (untuk profesi), maka
dalam rumusan UU PPh kedua konsep tersebut diintegrasikan dalam satu
konsep BUT (yang berlaku baik untuk usaha
maupun pekerjaan bebas profesi).
Menurut
Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada suatu asumsi
bahwa negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan milik bukan
WPDN untuk memperoleh penghasilan dari negara tersebut. Implikasi dari
yurisdiksi sumber ialah bahwa Indonesia secara sah dapat memungut pajak
dari orang pribadi atau badan bukan WPDN yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di Indonesia.
1.12 Pengertian Dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Sehubungan
dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam
bukunya yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law”
(1979) memberikan pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan
pengertian pajak berganda, yaitu :
a. Secara
Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan
lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu
fakta fiskal.
b. Secara
Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan
beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu
administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh
pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1. Internal (domestic)
2. Internasional
Dalam
kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal
dan diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal). Definisi
lain Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara
dua negara bilateral yang mengatur pembagian hak pemajakan atas
penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk oleh salah satu
atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Constacting State). Atau
perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka
meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak.
Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek
perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan
aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang
terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang
sedang dihadapi.
Setiap
tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama,
sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang
terlibat dalam suatu tax treaty menyusun treaty-nya masing-masing
berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Di
dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam
menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Memahami
treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa
dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam
kenyataannya, memahami suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah klausul yang cukup banyak,
pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab
lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan
memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam
suatu treaty, seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty
yang secara spesifik berlaku untuk negara tertentu.
Sebagai
suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu
negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab
itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan
ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu
tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article atau artikel) yang
terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax
treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda,
bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup
hal-hal lainnya.
Semua
bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi,
istilah dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty.
Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang menjadi lebih
penting untuk dipahami setiap pihak khususnya berkaitan dengan
kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari. Disamping tujuan utama seperti disebutkan diatas P3B juga mempunyai tujuan khusus lainnya yaitu :
a. Menghindari pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;
Dengan
P3B maka penganaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua
tempat (negara sumber dan negara domisili). Laba usaha dikenakan pajak
di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini
diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar
pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.
b. Meningkatkan investasi modal dari luar negeri;
Pemajakan
atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman
saham, royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang
tinggi, maka dapat dipastikan pendudukan atau warga negara asing akan
mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya, karena hasil dari
investasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c. Peningkatan sumber daya manusia;
Dengan
adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara
di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dapat
meningkatkan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan ke luar negeri,
dampaknya akan meningkatkan kemampuan SDM negara pengirim peserta
pelatihan dan pendidikan. Sebaliknya jika penghasilan mahasiswa dan
karyawan yang mengikuti pelatihan dikenakan pajak maka akan membebani
mereka sehingga mereka tidak berangkat keluar negeri ini akan berdampak
kurang baik terhadap pengembangan SDM.
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
Dengan
membangun jaringan komunikasi yang baik diantara kedua negara, maka
informasi tentang penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
di kedua negara tersebut akan dapat terdeteksi (untuk mengintensifkan
penerimaan pajak). Negara yang terkait dengan Tax Treaty dapat
melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya saja
dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber,
informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima
penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali pada akhir
tahun pajak.
e. Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.
P3B
juga mengaatur adanya pemajakan yang sama dan setara antara kedua
negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan
penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang
mengadaka tax treaty terikat dengan ketentuan dalam perjanjiannya
sehingga tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
1.13 Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
1. Dampak Pajak Berganda
Secara
ekonomis pajak merupakan pengorbanan suberdaya (kemampuan ekonomis)
yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda
sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua
negara) memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Sementara,
perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan risiko
dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan berganda telah ikut
memperbesar risiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau
meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi
global dengan biaya tinggi dan menghambat mobilitas global sumberdaya
ekonomis. Oleh karena itu, tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan
internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijakan
perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional.
Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi
atas PBI.
2. Beberapa Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Secara
tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, seperti (1)
pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit), dan (3) metode
lainnya. Kedua metode pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan
PBI yang diikuti oleh kebanyakan negara. Ketiga metode tersebut akan
dibahas dibawah ini.
Pembebasan/pengecualian
Metode
pembebasan (exemption)/pengecualian (exclusion) berupaya untuk
sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu negara
pemegang yurisdiksi pemajakan sekunder (domisili) untuk dengan rela
melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif
di negara lain (negara sumber). Metode eksemsi meliputi pembebasan (1)
subjek, (2) objek, dan (3) pajak.
Pembebasan
subjek (subject exemption) umumnya diberlakukan terhadap anggota korps
diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. para duta besar,
anggota korps diplomatic dan konsuler, sesuai dengan hukum internasional
mendapat privelege pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara
pengirimnya saja (sending state). Ketentuan pemberian privelege (hak
istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir) semua negara secara universal
dan dikenal dengan istilah .asas reprositas. (tet) Pembebasan objek
(object, income exemption), yang lebih dikenal dengan full
exemption atau exemption without progression, diberikan dengan
mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara
tersebut. Exemption without progression (eksemsi tanpa progresi)
maksudnya adalah bahwa penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul
dibebaskan dari pengenaan pajak dengan mengeluarkannya
(mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga
tidak akan masuk dalam unsur penghitungan progresi (progresivitas) tarif
pengenaan pajak negara domisili.
Pilihan
ketiga dari metode pembebasan ini adalah pembebasan pajak (tax
exemption) atau dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode
ini, pada prinsipnya penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari
pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak dan
penerapan tarif pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap
pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila negara
residen memperlakukan tarif sepadan (prporsional atau flat), maka
pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh
positif atau menguntungkan wajib pajak apabila penghasilan luar negeri
negatif (rugi), karena kerugian tersebut dapat merupakan pengurang basis
penghitungan pajak atas penghasilan global. Hal ini merupakan salah
satu perbedaan utama antara metode pembebasan penghasilan (object
exemption) dengan pembebasan pajak (tax exemption).
Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti Indonesia.
Kredit Pajak
Metode
kredit pajak terdiri dari beberapa metode, yaitu (1) Metode Kredit
Penuh (full tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas (ordinary
atau normal credit mothode) dan (3) Kredit Fiktif (mathcing atau sparing
credt methode). Dalam tataran lain, sehubungan dengan investasi pada
anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara kredit langsung
dan kredit tidak langsung.
Metode
kredit penuh (full tax credit methode) mengurangkan pajak yang terutang
atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang
dialokasikan atas penghasilan tersebut.
Metode
kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit) memberikan keringanan
pajak berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri
atas pajak nasional yang dialokasikan pada penghasilan luar negeri
dengan batasan jumlah yang terendah antara (1) pajak domestik yang
dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batasan teoritis), dan (2)
pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri (batasan
faktual) atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan
global.
Dalam
metode kredit biasa, apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari
beberapa negara, maka kredit pajak dapat dihitung secara bergabung
(oveall) atau tiap negara (per country limitation). Pemberian kredit
bergabung lebih menguntungkan wajib pajak dengan diperbolehkannya
kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan negatif dan (2) tarif
tinggi dengan tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang
dapat dikreditkan). Disamping itu, atas penghasilan dari anak perusahaan
luar negeri yang berupa dividen, selain kredit atas pajak dari dividen
(kredit langsung; direct tax credit) dapat pula diberikan kredit atas
pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen
tersebut (indirect tax credit).
Metode Lainnya
Sehubungan
dengan metode pemberian keringanan pajak berganda internasional, selain
metode eksemsi dan kredit, dalam buku International Juridicial Double
Taxation on income, Manual Pires menyebut beberapa metode sebagai
berikut:
1. Pembagian pajak (tax sharing)antara negara domisili dan sumber,
2. Pembagian
hak pemajakan (division of taxing power) dengan penentuan tarif pajak
maksimum atas penghasilan yang diperoleh WPLN yang dapat dipungut oleh
negara sumber,
3. Keringanan tarif (reduction of the rate) terhadap penghasilanluar negeri yang harus diberikan oleh negara dimisili,
4. Pengurangan pajak (rudction of the tax) dengan suatu jumlah tertentu (persentase) dari penghasilan luar negeri, dan
5. Pemajakan
dengan jumlah tetap (lumpsum atau forfait taxation). Sementara itu,
beberapa metode keringanan PBI yang dihubungkan dengan penghasilan
termasuk;
· Klarifikasi
(atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai dengan kategori
tertentu untuk menentukan pemajakan antara negara sumber dan domisili,
· Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak (deduction method) dan
· Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah tertentu (atau seluruhnya).
1.14 Praktik Penghindaran Pajak Berganda Internasional.
Untuk
menghndari atau mengurangi dampak PBI, di dunia internasional dikenal
tiga cara yang sering dilaksanakan, yaitu (1) mengikuti konvensi/traktat
internasional), (2) mengadopsi kesepakatan internasional dalam
undang-undang pajak domestik, dan (3) antar negara mengadakan perjanjian
perpajakan (tax treaty).
Konvensi
Hasil-hasil konvensi yang pernah ada dan dilaksanakan oleh Indoensia antara lain :
a. Bidang pajak Penghasilan, meliputi :
1. Azas
reprositas (tet) atau azas timbal balik, yakni apabila negara lain
tidak mengenakan pajak penghasilan untuk pejabat perwakilan negara
Indonesia (Duta Besar atau konsulat), maka pejabat pewakilan negara
tersebut di Indonesia pun tidak dikenakan pajak penghasilan.
2. Kegiatan
usaha suatu BUT apabila melakukan pembelian barang dagangan yang
dikirimkan ke induk perusahannya di luar negeri, dikecualikan sebagai
objek pajak.
3. Penghasilan
perusahaan dan penerbangan jalur internasional yang berasal dari luar
negeri ke dalam negeri dikecualikan sebagai objek pajak.
b. Bidang Pajak Pertambah pabean Nilai
1. Penyerahan
barang kena pajak tidak berwujud yang berasal dari luar daerah pabean
dikenakan PPN apabila dipakai dalam daerah Pabean.
2. Penyerahan jasa kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dikenakan PPN apabila dimanfaatklan di dalam daerah pabean.
Mengadopsi Kesepakatan-kesepakatan Internasional Ke Dalam Undang-Undang Pajak Domestik.
Indonesia
sebagai negara yang berdaulat (sovereign country) ikut serta
menghindari/mengurangi terjadinya PBI dengan mengadopsi
kesepakatan-kesepakatan internasional dalam undang-undang pajak
nasional. Pengadopsian kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut
dimaksudkan pula untuk memberikan kepastian hukum. Rincian pasal-pasal
yang mencerminkan adanya adopsi kesepakan internasional dalam
undang-undang pajak domestik sebagai berikut:
a. Bidang Pajak Penghasilan (Undang-undang Pajak Penghasilan)
1) Pasal 2 ayat (4) : Subjek Pajak luar Negeri
2) Pasal 2 ayat (5) : Bentuk Usaha Tetap (BUT)
3) Pasal 3 : Pengecualian Subjek Pajak
4) Pasal 5 : Objek Pajak BUT
5) Pasal 21 ayat (2) : Pengecualian Sebagai Pemotong Pajak
6) Pasal 24 : Pengkreditan Terbatas (Ordinary Tax Credit)
7) Pasal 26 ayat (1), (2) : Pemotongan Pajak Atas Penghasilan yang Diterima WPLN
8) Pasal 32A : Pemerintah berwenang mengadakan perjanjian dengan negara lain.
b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai_
1) Pasal 4 huruf e : Pemanfaatan barang kena pakak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
2) Pasal 4 huruf g : Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
Mengadakan Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty).
Antar
negara mengadakan perpanjian perpajakan (tax treeaty) yang disebut
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan maksud melindungi
penduduk suatu negara supaya tidak menanggung beban pajak dari dua atau
lebih otoritas pajak (dalam negeri dan luar negeri). Dalam hal telah ada
perjanjian peerpajakan, maka pemungutan pajak berdasarkan perjanjian
perpajakan (kedudukan perpjanjian perpajakan lebih tinggi dari
undang-undang pajak nasional suatu negara). Indonesia sampai saat ini
telah mengadakan perjanjian perpajakan dengan lebih dari 70 negara,
sedangkan yang masih berlaku sebanyak 57 negara sahabat.
1.15 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Penerapan
prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua
atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional, baik
yuridis maupun ekonomis.
Secara
ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat beban
usaha, investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat
menghambat mobilitas sumberdaya dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam
bidang investasi, perdagangan, produksi dan distribusi, sains dan
teknnologi dimana terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik regional
maupun global, dalam sektor perpajakan untuk mengindari beban ekonomis
dari PBI tersebut juga terdapat jaringan kerja sama antarnegara yang
dilakukan dengan menutup perjanjian penghindaran pajak berganda (.tax
treaty; P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B merupakan perjanjian
bilateral (namun dalam kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup
oleh dua negara dengan tujuan utama untuk menentukan solusi terhadap
(PBI) yang disebabkan oleh implementasi hak pemajakan (berdasarkan
ketentuan domestik) kedua negara atas suatu objek (subjek) yang sama.
Sampai
saat ini Indonesia telah menutup P3B dengan lebih dari 70 negara mitra
runding. Karena Indonesia tidak lagi mengenakan pajak kekayaan (wealth
tax), semua P3B dimaksud berkaitan dengan pajak penghasilan saja.
Sebagai salah satu instrumen yang tunduk pada hukum internasional, P3B
yang telah efektif berlaku dapat memodifikasi suatu ketentuan domesti
(UU PPh) yang berlaku atas suatu subjek atau objek.
a. Dasar Hukum P3B
P3B
merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal
sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian
pembuat undang-undang (lawmaking treaties) berdasar hukum publik
internasional karena disepakati (pemerintah) negaranegara (contracting
states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional
(knechtle; 1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang
menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian
dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa
Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau
lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan
para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan
itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh
menyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
Dalam
kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B
merupakan perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin
treaties karena kreasi dan konsekuensinya tunduk pada The Viena
Convention on The Law of Treatiestanggal 23 Mei 1969 (.Konvensi Wina.).
Walaupun terdapat communis opini doctorum(pendapat yang berterima umum),
bahwa di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih
tinggi, yaitu hukum antar negara (public internatonal law;
Brotodiharjo; 1971), namun ketentuan di berbagai negara berbeda. Ada
negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar menjadi bagian dari hukum
nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang menyatakan tidak
perlu. Pasal 3 UU No 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah
mengikatkan diri pada perjanjian internasional antara lain melalu
pengesahan. Selanjutnya Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Khusus untuk P3B
karena materinya tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10 UU No 24
Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan
keputusan presiden yang salinannya disampaikan kepada DPR (sebagai
lembaga legislative). Karena lebih bersifat teknis administrative
(Darussalam dan Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B cukup dilakukan
dengan keputusan presiden. Dengan pertukaran nota diplomatic antara
Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai berlaku di kedua
negara mitra runding tersebut.
b. Model, Sifat, dan Tujuan Umum.
1. Model Perjanjian
Dampak
kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan
mobilitas sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui
secara meluas sehingga upaya untuk mengeliminasi pajak berganda
merupakan salah satu instrumen dari pengembangan hubungan ekonomi
antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang
menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan
pemberian keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara
secara bersama-sama dapat mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi
tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran
pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik (misalnya Pasal
24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling kurang
memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud
adalah (1) P3B dapat memberikan keringanan lebih baik dari ketentuan
domestik (misalnya pengecualian), (2) memungkinkan harmonisasi saat
pemajakan antara negara domisili dan sumber, dan (3) tujuan lainnya.
Perumusan
P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN,
atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota
OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara
negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD
model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding
mendasarkan pada US Model.
Model
OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan
perpajakan antara negara anggota OECD, sebagai organisasi dari
negara-negara industri maju dengan kekuatan ekonomi yang cukup untuk
melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian merupakan dasar
pijakan alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para
anggota domisili berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas
pengorbanan penerimaan.
Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap wilayah,
pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip
residensi akan dialami timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota.
Model OECD dikonsepkan dengan berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak
pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada negara domisili wajib
pajak. Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan pajak
sumber (withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif
pajaknya untuk memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber
selalu dapat diserap oleh batasan kredit pajak negara residen (kalau
keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak domestiknya,
keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk
menyediakan kredit atau bebas pajak atas penghasilan yang telah
dikenakan pajak oleh negara sumber.
Di
pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara
negara maju dan berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD
Model, yang kebanyakan meminta negara sumber untuk merelakan penerimaan
pajaknya, kurang tepat untuk dipakai sebagai panduan P3B antara negara
maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh karakteristik hubungan
ekonomi negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh
ketimpangan arus penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut
(penghasilan dari negara berkembang lebih besar mengalir ke negara
maju). Arus penghasilan satu arah tersebut menyebabkan pengorbanan yang
kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian penerimaan pajak dari
objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan
pemajakan negara sumber (berkembang). Kurangnya penerimaan negara
berkembang tersebut menyebabkan terbatasnya dana penyediaan fasilitas
umum dan jasa publik lainnya. Selain menyebabkan kurang kondusifnya
iklim investasi di negara berkembang, keterbatasan dana juga menyebabkan
tidak mampunya negara berkembang yang umumnya sebgai negara pengutang
untuk membayar utang luar negeri dan dalam negerinya.
2. Sifat P3B
Istilah treaty dan convention sering
dipakai secara bersamaan dan saling dipertukarkan. Sehubungan dengan
kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa konvensi dapat
dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya
adalah .treaty.. Perjanjian (.agreement.) merupakan konvensi dengan
tujuan kultural dan ekonomi serta dalam bentuk sederhana. Konvensi untuk
mengeliminasi pajak berganda umumnya dirumuskan dalam bentuk .treaty..
Sebagai perjanjian bilateral, sesuai dengan hukum publik internasional,
P3B bersifat mengikat kedua negara (contracting states). Selanjutanya,
menurut Knechtle (1979), P3B yang ditutup suatu negara (Indonesia) juga
mempunyai validitas internal domestik dan menjadi self executing.
Sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, P3B mempunyai kemungkinan
yang dapat bersifat restriktif atau ekspansif. Sebagai elemen dari
hukum internasioanl, sesuai dengan prinsip negatif efek, P3B membatasi
aplikasi dari ketentuan domestik (kewenangan mengenakan pajak).
Sementara itu, perluasan hak pemajakan tidak bisa diperoleh hanya dengan
menciptakan kewajiban pajak yang tidak tersurat (ada) dalam ketentuan
domestik atau dengan mengeliminasi keringanan dalam ketentuan domestik
(dengan ketentuan pada P3B). Sehubungan dengan kewajiban pajak, Van Raad
(1986) menyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya dapat dikenakan
berdasarkan ketentuan domestik (misalnya undang-undang perpajakan) dan
bukan dengan P3B. begitu juga keringanan (pembebasan) pajak pada
ketentuan domestik tetap ada dan tidak terhapus oleh rumusan pada P3B.
Hanya untuk tujuan aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu ketentuan
domestik tersebut dikesampingkan.
3. Tujuan P3B
Selain
untuk mengeliminasi PBI dalam rangka memperlancar mobilitas global
sumberdaya, Pires (1989) menyebutkan beberapa tujuan lain dari P3B,
antara lain:
1) melindungi wajib pajak,
2) mendorong atau menarik investasi (dengan berbagai keringanan pajak),
3) memudahkan ekspansi perusahaan negara maju,
4) membantu
mengurangi dan menanggulangi penghindaran dan penyelundupan pajak,
meningkatkan kerja sama aplikasi ketentuan domestik, perbaikan
perutakaran informasi dan pengalaman perpajakan, peningkatan pengetahuan
tentang kemampuan bayar wajib pajak, perbaikan interpretasi ketentuan
pajak (misalnya sehubungan dengan praktik transfer pricing),
5) harmonisasi kriteria pemajakan,
6) mencegah diskriminasi,
7) menumbuhsuburkan
hubungan ekonomis dan sebagainya, dan meningkatkan pencegahan
penyalahgunaan perjanjian dan kerja sama dalam penetapan dan penagihan
serta aktivitas administrasi pajak lainnya.
4. Struktur P3B
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa perumusan P3B didasarkan kepada salah satu
model yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan
berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara
maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan
negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B
antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US
Model
Berikut adalah perbandingan struktur antara model OECD dan Model UN :
MODEL UN
|
MODEL OECD
|
B AB I RUANG LINGKUP PERJANJIAN
| |
Pasal 1 : orang dan badan yang
Tercakup dalam perjanjian
|
Pasal 1 : orang atau badan yang tercakup dalam perjanjian
|
Pasal 2: pajak-pajak yang tercakup dalam Persetujuan
|
Pasal 2 : pajak-pajak yang tercakup
|
BAB II PENGERTIAN-PENGERTIAN
| |
Pasal 3 : definisi-definisi umum
|
Pasal 3 : pengertian umum
|
Pasal 4 : penduduk
|
Pasal 4 : penduduk
|
Pasal 5 : bentuk usaha tetap
|
Pasal 5 : but
|
BAB III PAJAK ATAS PENGHASILAN
| |
Pasal 6 : penghasilan dari harta takgerak
|
Pasal 6 : penghasilan dari harta tak gerak
|
Pasal 7 : laba usaha
|
Pasal 7 : laba usaha
|
Pasal 8 : perkapalan dan pengangkutan
udara
|
Pasal 8 : pelayaran, pengangkutan danau dan sungai, danpenerbangan jalur internasional
|
Pasal 9 : perusahaan-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa
|
Pasal 9 : perusahan yang mempunyai hubungan istimewa
|
Pasal 10: dividen
|
Pasal 10: dividen
|
Pasal 11: bunga
|
Pasal 11: bunga
|
Pasal 12: royalti
|
Pasal 12: royalti
|
Pasal 13 : keuntungan dari pemindahtanganan harta
|
Pasal 13 : keuntungan karena pemindahtanganan harta
|
Pasal 14 : pekerjan bebas
|
Pasal 14 : pekerjaan bebas
|
Pasal 15 : pekerjaan dalam hubungan kerja
|
Pasal 15 : hubungan pekerjaan
|
Pasal 16 : imbalan direktur
|
Pasal 16 : pembayaran untuk direktur
|
Pasal 17 : para artis dan atlit
|
Pasal 17 : para artis dan olahragawan
|
Pasal 18 : pensiun
|
Pasal 18 : pensiun
|
Pasal 19 : pejabat pemerintah
|
Pasal 19 : jabatan pemerintahan
|
Pasal 20 : guru dan peneliti
|
Pasal 20 : mahasiswa dan pelajar
|
Pasal 21 : siswa dan pemagang
|
Pasal 21 : penghasilan lain-lain
|
BAB IV PAJAK ATAS KEKAYAAN
| |
Pasal 22: penghasilan lainnya
|
Pasal 22 : kekayaan
|
BAB V METODA PENGHINDARAN
| |
Pasal 23: metode penghindaran pajak
berganda
|
Pasal 23: metoda pengkreditan
|
BAB VI KETENTUAN KHUSUS
| |
Pasal 24: non diskriminasi
|
Pasal 24 non diskriminasi
|
Pasal 25 tata cara persetujuan bersama
|
Pasal 25 prosedur kesepakatan bersama
|
Pasal 26 : pertukaran informasi
|
Pasal 26 : pertukaran informasi
|
Pasal 27 : pejabat diplomatik dan konsuler
|
Pasal 27 : para diplomat dan pejabat konsular
|
Pasal 28 : berlakunya persetujuan
|
Pasal 28 : perluasan wilayah berlakunya perjanjian
|
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
| |
Pasal 29: berakhirnya persetujuan
|
Pasal 29 : berlakunya perjanjian
|
Pasal 30 : penghentian perjanjian
|
1.16 Aplikasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Dalam
mendorong efisiensi ekonomi, pemajakan merupakan salah satu
pertimbangan yang tidak begitu saja dengan mudah dapat diabaikan. Dalam
sistem pajak, netralitas dimasksudkan sebagai suatu pola kebijakan
pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun
mengarahkan pemilihan wajib pajak untuk melakukan kegiatan ekonomi atau
investasi di dalam atau di luar negeri. Netralitas pajak menghendaki
agar ketentuan perpajakan tidak memberikan perlakuan yang berbeda atas
satu kegiatan atau satu keputusan ekonomi dari kegiatan atau keputusan
ekonomi lainnya. P3B merupakan salah satu kebijakan dalam mewujudkan
netralitas pajak tersebut. Beberapa hal yang sering dialami dalam
aplikasinya meliputi:
a. Kedudukan P3B
Untuk
mengalokasikan hak pemajakan atas kategori penghasilan tertentu kepada
salah satu negara penandatangan, P3B mempunyai ketentuan tersendiri
tentang sumber penghasilan.
Dalam
bahasa P3B istilah asal (originating, atau arising) lebih sering
dipakai ketimbang istilah sumber (source); Dapat terjadi bahwa kriteria
penentu asal penghasilan P3B tidak sama dengan kriteria penentu
Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan berdasarkan peraturan domestik.
Dalam hal demikian, maka prioritas pemberlakuan diberikan kepada
ketentuan dalam P3B.
b. Penentuan penduduk (residensi)
Sebagaimana
telah dikemukanpada bagian awal modul ini, bahwa penentuan domisili
suatu badan usaha menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh berdasarkan kriteria
(1) tempat pendirian residence dengan memberikan ketentuan (Pasal 4 ayat
(3) model OECD) .Tiebreaker Rule. , yaitu dengan merujuk apakah kepada
(1) tempat pendirian, (2) manajemen efektif, atau (3) kesepakatan
bersama (mutual agreement procedures). Dengan merujuk kepada ketentuan
solusi tersebut, maka untuk tujuan penerapan P3B tidak terdapat
residensi ganda.
Sementara
itu, untuk menentukan status penduduk wajib pajak orang pribadi apabila
terjadi dual residences, ditetapkan berdasarkan:
a) Tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
b) Hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan pokok)
c) Tempat kebiasaan berdiam
d) Kewarganegaraan;
e) Persetujuan bersama pejabat-pejabat yang berwenang.
c. Time Test untuk Penentuan BUT
Keberadaan
BUT menentukan hak pemajakan bagi negara sumber. Negara sumber
mempunyai hak pemajakan penuh terhadap suatu atau kegiatan yang memenuhi
kriteria BUT.
Pasal
2 ayat (5) UU PPh menentukan kriteria BUT meliputi keberadaan sarana
fisik dan terpenuhinya batas waktu tertentu (time test) untuk suatu
aktivitas atau kegiatan. Dalam hal ini, aktivitas di bidang konstruksi
(membangun jalan, jembatan, bangunan dan sebagainya) kriterianya tidak
menggunakan time test. Time test digunakan untuk menentukan keberadaan
BUT pemberian jasa saja, yaitu pemberian jasa yang dilakukan lebih dari
60 hari dalam 12 bulan. Namun, apabila antara Indonesia dengan negara
domisili WPLN sudah ada P3B, maka penentuan BUT dari aktivitas pemberian
jasa tersebut berdasarkan time-test yang disepakati dalam P3B.
d. Surat Keterangan Domisili (SKD)
Dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pelaksanaan
pemotongan PPh Pasal 26 sehubungan dengan ketentuan dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, maka untuk memberikan
kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh 26 sesuai dengan P3B
dilaksanakan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-03/PJ.101/1996 sebagai berikut :
1) Wajib
Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili
(SKD) kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar
penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar;
2) Asli
SKD menjadi dasar bagi pihak yang membayar untuk menerapkan PPh Pasal
26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia
dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri
tersebut.
3) Dalam
hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu
pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan
fotokopi yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak
pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan.
Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang aslinya.
Surat
Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya
yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan
Domisili yang dibuat oleh pejabat pada kantor pajak tempat wajib pajak
luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan
dengan surat keterangan domisili yang dibuat competent authority.
e. Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedures)
Apabila
seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah
satu atau kedua Negara Pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau akan
mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B, maka
terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh perundang-undangan
nasional dari masing-masing Negara, ia dapat mengajukan masalahnya
kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan di mana
ia berkedudukan, atau apabila masalah yang timbul menyangkut perlakuan
diskriminatif, maka permasalahan tersebut disampaikan kepada pejabat
yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan di mana ia menjadi
warganegara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu dua tahun sejak
pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan P3B.
Apabila
keberatan yang diajukan itu cukup beralasan untuk diselesaikan dan
apabila atas masalah itu tidak dapat ditemukan suatu penyelesaian yang
memuaskan, pejabat yang berwenang harus berusaha menyelesaikan masalah
itu melalui prsetujuan bersama dengan pejabat yang berwenang dari Negara
Pihak lainnya pada Persetujuan, dengan tujuan untuk menghindarkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.
Pejabat-pejabat
yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan melalui suatu
persetujuan bersama harus berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan
atau keraguraguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan P3B.
Mereka dapat juga berkonsultasi bersama untuk mencegah pengenaan pajak
berganda dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan.
Pejabat-pejabat
yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan dapat
berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan tersebut.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara Pihak pada Persetujuan,
melalui konsultasi, mengembangkan tatacara, kondisi, dan tehnik yang
bersifat bilateral guna pencapaian prosedur persetujuan bersama.
f. Pertukaran Informasi
Adakalanya
untuk kelancaran pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri, khususnya
untuk mencegah terjadinya penggelapan dan penyelundupan pajak,
diperlukan informasi dari negara pihak lainnya. Untuk kelancaran
pertukaran informasi (exchange of information) diatur dalam P3B sebagai
berikut:
1. Pejabat-pejabat
yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan akan melakukan
tukar menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan memberikan informasi itu hanya untuk maksud tertentu
tetapi juga boleh mengungkapkan informasi itu dalam pengadilan umum
atau dalam pembuatan keputusan-keputusan pengadilan.
2. Negara pihak tidak dapat mewajibkan negara pihak lainnya untuk :
a) Melaksanakan
tindakan-tindakan administratif yang bertentangan dengan
perundangundangan dan praktek administrasi yang berlaku di Negara itu
atau di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan;
b) Memberikan
informasi yang tidak mungkin diberikan di bawah perundang-undangan atau
dalam praktek administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara
Pihak lainnya pada Persetujuan;
c) Memberikan
informasi yang mengungkapkan rahasia apapun di bidang perdagangan,
usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan
atau informasi lainnya yang pengungkapannya bertentangan dengan
kebijaksanaan umum (ordre public).
Dalam
P3B atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing
mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang
pengenaan pajak menurut undang-undang Negara yang bersangkutan tidak
bertentangan dengan P3B.
Setiap
informasi yang diterima oleh suatu negara Pihak pada Persetujuan harus
dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi
itu diperoleh berdasarkan perundang-undangan nasional negara tersebut.
Bagaimanapun, informasi yang dianggap rahasia itu hanya dapat
diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk
pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam
penetapan atau penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau
penuntutan, atau dalam memutuskan keberatan berkenaan dengan pajak-pajak
yang dicakup dalam P3B.
CONTOH KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib
pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan
dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000
yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic
adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestic (Negara P)
|
200.000.000
|
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
|
100.000.000
|
Penghasilan global
|
300.000.000
|
Pajak terutang (300.000.000 x 25%)
|
75.000.000
|
Eksemsi pajak
100.000.000 – 75.000.000
|
(25.000.000)
|
Pajak Penghasilan kurang bayar
|
50.000.000
|
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestic (Negara P)
|
200.000.000
|
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
|
(50.000.000)
|
Penghasilan global
|
150.000.000
|
Pajak Penghasilan kurang bayar:
25% x 150.000,000
|
37.500.000
|
Dengan
demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai
konsekuansi dari system pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya
dapat mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara
berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali
(recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau
misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di
Negara Q didapat laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000,
maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestic (Negara P)
|
250.000.000
|
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
|
(150.000.000)
|
Penghasilan global
|
400.000.000
|
Pajak terutang (400.000.000 x 25%)
|
100.000.000
|
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
| |
Basis penghitungan eksemsi
|
100.000.000
|
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25%
|
(25.000.000)
|
Pajak Penghasilan kurang bayar
|
75.000.000
|