Rabu, 31 Mei 2017

Artikel Pajak Internasional

Pajak Internasional

Laman Pajak Internasional ini sebagian besar merupakan copy paste dari ebook Pajak Internasional yang buat oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak. Ebook dibuat tahun 2014 dengan editor Ibu Leli Listianawati. Tidak semua materi dicopy. Beberapa bagian yang lebih tepat untuk petugas pajak tidak disajikan disini. Saya menyajikan dalam laman ini supaya saya belajar lagi. Pada beberapa bagian saya modifikasi dengan tetap mengacu pada peraturan yang jadi rujukan di ebook. Semoga bermanfaat, terutama bagi mahasiswa dan wajib pajak yang merasa perlu tahu.


Subjek Pajak Luar Negeri

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah: 
  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; dan 
  2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 
Subjek Pajak Luar Negeri baik itu orang pribadi ataupun badan memiliki kewajiban pajak subjektif yang dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 

Dari pengertian di atas dapat dibedakan dua jenis Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu : 
  1. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan 
  2. Wajib Pajak Luar Negeri yang tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 
Selain itu, ada juga Wajib Pajak Luar Negeri yang pengenaan pajaknya diatur khusus pada Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.

Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri dalam bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:

  1. green card;
  2. identitiy card;
  3. student card;
  4. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
  5. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
  6. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang diterima sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan penghasilan lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Penghasilan Yang Diterima Subjek Pajak Luar Negeri Melalui Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia

Yang menjadi objek pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap, yaitu : 
  1. penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai Bentuk Usaha Tetap tersebut; 
  2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; 
  3. penghasilan sebegaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. 
Bentuk Usaha Tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan itu sendiri. 

Oleh karena itu, jika kita mengacu pada ketentuan di atas, pembayaran berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga oleh dari Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pengecualian dari ketentuan ini adalah apabila kantor pusat dan Bentuk Usaha Tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran bunga pinjaman oleh Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya dapat dibebankan sebagai biaya. 

Karena Bentuk Usaha Tetap merupakan Subjek Pajak yang diperlakukan sama dengan Subjek Pajak badan, maka biaya yang dapat dikurangkan atau tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan yang diterima mengikuti ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 

Perbedaan Bentuk Usaha Tetap dengan perusahaan PMA (penanaman modal asing) :
 Keterangan
 Bentuk Usaha Tetap
 PMA (WPDN Badan)
Status hukum perusahaan
 Tidak berbadan hukum
 Berbadan hukum PT
Penyertaan Modal
 Tidak ada
Setoran pemegang saham
 Objek Pajak
 Pasal 5 ayat (1) UU PPh
 Pasal 4 ayat (1) UU PPh
 Pengurang Penghasilan Bruto
 Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU PPh
 Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 UU PPh
 Sisa kerugian tahun-tahun sebelumnya
 Dapat  diperhitungkan
 Dapat  diperhitungkan
Penghasilan Kena Pajak
Pasal 16 ayat (3) UU PPh
Pasal 16 ayat (1) UU PPh
Tarif Pajak
Pasal 17 ayat (1) b UU PPh
Pasal 17 ayat (1) b UU PPh
Penghasilan Kena Pajak dikurang PPh terutang
 Branch Profit yang terutang PPh Pasal 26 ayat (4)
 Tidak ada terminologi khusus, distribution to shareholder (dividend)yang terutang PPh Pasal 23/26

Penghasilan Yang Diterima Subjek Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia

Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berada di Indonesia. 

Tarif dasar Pasal 26 ini adalah sebesar 20% yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP Pasal 26 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu 
  1. jumlah bruto, 
  2. perkiraan penghasilan neto, dan 
  3. penghasilan setelah dikurangi pajak (earning after tax). 
Karena Pasal 26 adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT yang penghasilannya bersumber dari Indonesia, dalam hal ketentuan P3B mengatur berbeda dari yang tertulis di Pasal 26, maka yang berlaku adalah ketentuan P3B sebagai lex specialis dari Undang-Undang Pajak Penghasilan. Namun demikian patut diperhatikan bahwa P3B tidak mengatur aspek pemajakan terkait objek-objek penghasilan yang dikenakan maupun yang tidak dikenakan pajak, melainkan mengatur pembatasan hak pemajakan suatu negara atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari negara tersebut. 

Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah final kecuali bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa: 
“Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:1. dividen;2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;5. hadiah dan penghargaan;6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau8. keuntungan karena pembebasan utang.”



Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pengalihan Harta Selain Saham

Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto

Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual. Pemotongan pajak tersebut bersifat final dan atas penghasilan yang merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/PMK.03/2009 mengatur bahwa atas penjualan atau pengalihan harta yang dimaksud di atas adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 

Selain itu, untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya berada di Indonesia.

Wajib Pajak Luar Negeri yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.


Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pengalihan Saham

Selain atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dari penjualan harta, Wajib Pajak Luar Negeri juga dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari pengalihan saham

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/KMK.04/1999, atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap dari penjualan saham Perseroan Terbatas yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik di Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif 
sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%. 

Dalam hal pembeli adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang sahamnya diperjualbelikan tersebut. Pencatatan akta pemindahan hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.


Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Premi Asuransi

Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Menteri Keuangan berwenang menetapkan besaran perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa premi yang diterima oleh perusahaan asuransi luar negeri. Terhadap perkiraan penghasilan neto tersebut dipotong pajak dengan tarif 20% (dua puluh persen).

Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam KMK- 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri adalah sebagai berikut: 

  1. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; 
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; 
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar. 
Pihak tertanggung, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atau perusahaan reasuransi di Indonesia memotong pajak penghasilan pasal 26 atas pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri dengan membuat 3 (tiga) rangkap Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan ketentuan: 
  • lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya; 
  • lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar; 
  • lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak. 
Perlakuan perpajakan menurut KMK-624/KMK.04/1994 tersebut akan berbeda apabila terdapat P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, sehingga atas penghasilan yang diterima perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra baru dapat dikenakan pajak dalam hal perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra tersebut menjalankan kegiatan usaha dan menerima penghasilan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap yang berada di Indonesia.

Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri Melaui BUT : Branch Profit

Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan: 
“Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Pengecualian pengenaan branch profit tax diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk: 
  1. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; 
  2. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; 
  3. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau 
  4. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 
Untuk mendapatkan pengecualian dimaksud di atas, terdapat dua persyaratan utama untuk dipenuhi oleh Bentuk Usaha Tetap, yaitu: 
  1. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya, setelah tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan; dan 
  2. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertuis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi secara komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 
Selain persyaratan utama yang telah disebutkan di atas, terdapat juga persyaratan tambahan terhadap masing-masing jenis penanaman modal kembali yang dilakukan oleh BUT yang bersangkutan, yaitu: 
  1. Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akta pendiriannya paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan dan BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial; 
  2. Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia dan BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal. 
  3. Untuk pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia atau investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. 
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) ini diperlakukan seperti pengenaan pajak atas dividen yang melekat pada Wajib Pajak Badan, tetapi subjek pemotongnya adalah Bentuk Usaha Tetap yang berada di Indonesia.

Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pelayaran dan Penerbangan Internasional

Pada dasarnya dalam P3B hak pemajakan atas perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan dengan jalur lalu lintas internasional adalah di negara dimana tempat manajemen efektif perusahaan itu berada


Dalam ketentuan domestik perpajakan di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk perusahaan pelayaran dan/ atau penerbangan luar negeri diatur dengan norma penghitungan khusus yang terdapat pada pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996.


Perlu diperhatikan bahwa Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri atas penghasilan yang diterima dari kegiatan operasional jalur lintas domestik dan jalur lintas internasional yang berasal dari Indonesia


Hal ini di karenakan sumber penghasilannya berasal dari Indonesia. Sedangkan atas penghasilan dari kegiatan operasional jalur lalu lintas internasional yang berasal dari luar negeri ke wilayah Indonesia maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak.


Dalam KMK-417/KMK.04/1996 diatur bahwa penghasilan neto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri adalah sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto, yaitu semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri dari pengangkutan orang dan/ atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. 


Besarnya Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap Wajib Pajak tersebut adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/ atau Penerbangan Luar Negeri dan bersifat final.

Dengan adanya P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, maka dalam mengaplikasikan pengenaan pajak terhadap Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Asing sudah tentu harus melihat isi dari P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra tersebut terutama pada article General Definitions dan article Shipping and Air Transport karena tidak setiap P3B mengaplikasikan hak pemajakan yang sama antara satu dengan yang lainnya.

Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 634/KMK.04/1994, penghasilan neto dari Wajib Pajak Luar Negeri yang memiliki Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto, dan pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto

Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. 

Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/ PJ.03/2008 memberikan penegasan atas pertanyaan yang timbul terhadap pengenaan pajak kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia. Dalam suratnya, Direktur Jenderal Pajak menegaskan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud dalam KEP-667/PJ./2001 adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai P3B

Sedangkan untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari Negara Mitra atau yurisdiksi mitra P3B, besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait. 

Untuk Kantor Perwakilan Dagang yang yang dikecualikan dari Bentuk Usaha Tetap sesuai dengan P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra atau yurisdiksi mitra, maka hak pemajakannya berada di negara domisili dimana Wajib Pajak Luar Negeri tersebut terdaftar sebagai resident

Dengan demikian, pengenaan pajak kepada Kantor Perwakilan Dagang Asing yang berasal dari negara mitra P3B dapat dilakukan serpanjang kegiatan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Dagang Asing dimaksud tidak termasuk pada kegiatan yang dikecualikan sebagai bentuk usaha tetap, sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku.



P3B (Tax Treaty)

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian pajak antara 2 (dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara yang melakukan perjanjian (both Contracting States). 

Pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Pencegahan pajak berganda tersebut diatur dengan membatasi hak pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah juridiksinya. 

Tujuan diadakannya P3B adalah: 

  1. Mencegah terjadinya pemajakan berganda, serta mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion); 
  2. Memberikan kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua Negara; 
  3. Peningkatan investasi dan Sumber Daya Manusia; 
  4. Pertukaran informasi melalui Exchange Of Information (EOI) guna mencegah penghindaran pajak; dan 
  5. Penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP), dan bantuan dalam penagihan pajak. 
Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasialn menjelaskan bahwa: 
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.” 
Kedudukan P3B adalah lex specialist terhadap Undang-Undang domestik (aturan hukum khusus akan mengesampingkan aturan hukum umum). Artinya jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik yang bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B. Dalam menentukan hak pemajakan, azas yang digunakan adalah sumber penghasilan, status kewarganegaraan, dan status kependudukan.Pada awalnya tax treaty bertujuan mengurangi double taxation sehingga aturan yang ada dalam tax treaty mengurangi hak pemajakan both contracting states. Kelemahan ini kemudian dimanfaatkan tax planner untuk menghindari pajak sehingga wajib pajak bebas pajak. Negara-negara kemudian sadar adanya double non-taxation

raden agus suparman : bagan skema interaksi UU PPh dan P3B
klik gambar biar lebih jelas


Dalam perpajakan internasional, terdapat 3 (tiga) metode hak pemajakan. 

  • Pertama, pemajakan unilateral dimana hak pemajakan di dalam wilayah kedaulatan Indonesia diatur sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia dan berlaku bagi seluruh masyarakat atau badan internasional yang ada di wilayah Indonesia. 
  • Kedua, metode pemajakan bilateral (tax treaty) dimana hak pemajakan diatur melalui perjanjian antara kedua negara yang mengatur hak pemajakan atas penghasilan dan warga negara kedua belah pihak. 
  • Ketiga, metode pemajakan multilateral (tax convention) yang didasari oleh konvensi internasional dimana ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan digunakan untuk kepentingan negara-negara tersebut. 

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian P3B diantaranya adalah: 

  1. subjek pajak yaitu pengaturan terhadap Subjek Pajak Dalam Negeri, Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT); 
  2. objek pajak yaitu antara lain penghasilan atas kegiatan usaha, penghasilan atas penjualan saham dan aset, dividen, bunga, royalti, dan penghasilan atas jasa tertentu; 
  3. jenis pajak, tarif, dan kondisi khusus lainnya yang secara umum menjadi sengketa atau rentan terjadi pemajakan berganda; serta 
  4. prosedur dalam melaksanakan MAP, EOI, dan bantuan penagihan pajak. 

Sedangkan metode penghindaran pajak berganda yang digunakan yaitu dengan pembebasan/pengecualian pajak, kredit pajak, dan metode lainnya seperti pembagian/pengurangan tarif dan pemajakan dengan jumlah tetap. 

Model perjanjian yang digunakan di Indonesia adalah: 
  • Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Merupakan model P3B untuk negara-negara maju. Model ini mengedepankan asas domisili Negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal. 
  • Model UN (United Nation). Merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, dimana hak pemajakan berada pada Negara yang memberi penghasilan. 
Kedua model perjanjian diatas adalah dasar dari pembuatan P3B Indonesia dengan negara mitra, namun pada pelaksanaannya, bentuk P3B yang digunakan dibuat berdasarkan kondisi dan kepentingan Indonesia pada saat perjanjian berlangsung. sehingga bentuk P3B Indonesia tidak baku dan merupakan gabungan dari kedua model perjanjian diatas.


Treaty Shopping dan pencegahan penyalahgunaan P3B

Treaty Shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B, dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut. Entitas tersebut sering disebut perusahaan cangkang atau special porpose vehicle (SPV).

Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai penyalahgunaan P3B (yang memuat persyaratan 
beneficial owner (BO))  : 
  1. Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; 
  2. Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau 
  3. Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO). 
Persyaratan tidak terjadinya penyalahgunaan P3B dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri merupakan orang pribadi adalah orang pribadi tersebut tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee.

Sedangkan persyaratan tidak terjadinya penyalahgunaan P3B dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri merupakan Wajib Pajak badan :
pertama: Wajib Pajak Luar Negeri merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal (listed company) dan diperdagangkan secara teratur; 

kedua : bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak memuat persyaratan beneficial owner, Wajib Pajak Luar Negeri menjawab bahwa pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B. 


ketiga : penghasilan yang di dalam P3B terkait memuat persyaratan beneficial ownerWajib Pajak Luar Negeri menjawab (lihat Form DGT-1): 
  1. pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan 
  2. kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan 
  3. perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan 
  4. mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan 
  5. penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan 
  6. tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.


Kewajiban Pemotong/Pemungut Pajak dan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dalam pelaksanaan P3B

Pemotong/Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:
  1. penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  2. persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
  3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan dan penyalahgunaan P3B.
Apabila ketentuan tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, Pemotong/ Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Sedangkan bagi WPLN untuk dapat memperoleh manfaat P3B harus memenuhi syarat administratif yaitu:

  1. Menggunakan formulir Form-DGT 1 dan Form-DGT 2, mengisi dengan lengkap dan menandatanganinya;
  2. Formulir tersebut telah disahkan oleh pejabat yang berwenang (Competent Authority) di Negara tempat WPLN terdaftar sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri; dan
  3. Menyampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT masa untuk masa terutangnya pajak.
Yang dimaksud formulir Form-DGT 1 dan Form-DGT 2 diatas adalah formulir yang ditetapkan dalam Lampiran II (Form - DGT 1) atau Lampiran III (Form - DGT 2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER- 24/PJ/2010.

Form-DGT 2 digunakan dalam hal:
  1. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
  2. WPLN bank; atau
  3. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Negara Mitra P3B Indonesia dan merupakan Subjek Pajak di Negara Mitra P3B Indonesia.
Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.


Surat Keterangan Domisili (SKD)

Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence (COD) digunakan untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tertentu adalah Subjek Pajak Dalam Negeri (resident) dari suatu Negara tertentu yang menandatangani P3B. 

SKD adalah persyaratan administratif bagi WPLN untuk menggunakan fasilitas yang ada dalam P3B. Apabila WPLN tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh otoritas negaranya dalam laporan perpajakannya di Indonesia, maka pemotong/pemungut pajak wajib memotong/memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. 

Begitu pula dengan WPDN Indonesia yang memperoleh penghasilan dari Negara Mitra, apabila WPDN Indonesia tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh otoritas Indonesia maka WPDN tersebut akan dikenakan pajak atas penghasilan dari Negara Mitra sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Mitra tersebut.

SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan KPP domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap. 

Formulir SKD yang diterbitkan adalah form DGT-7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II PER-35/PJ/2010 atau menggunakan formulir khusus yang digunakan oleh Negara Mitra P3B. Masa berlaku SKD adalah 12 bulan sejak tanggal disahkan. 

Isi SKD menerangkan bahwa Wajib Pajak bersangkutan adalah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, yang berdomisili/menjalankan usahanya di wilayah KPP domisili dan telah melaporkan SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak yang dimaksud. Bagi Wajib Pajak luar negeri, SKD yang diterbitkan Negara Mitra adalah sesuai kelaziman di Negara tempat WPLN berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa WPLN yang bersangkutan benar bekedudukan di Negara tersebut sesuai dengan peraturan P3B yang berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda tangan pejabat yang menerbitkan SKD tersebut.

Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak terutang

Wajib Pajak Luar Negeri dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang dalam hal:
terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berupa: 

  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B; 
  2. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak; 
  3. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau 
  4. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut. 

Atau terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak

  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut; 
  2. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau 
  3. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut. 
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/ 2013 , Wajib Pajak yang berhak mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang karena kesalahan pemotongan atau pemungutan dan telah disetorkan dan dilaporkan adalah Wajib Pajak Dalam Negeri atau Pengusaha Kena Pajak dan Wajib Pajak Luar Negeri yang yang menjalankan kegiatan atau usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 

Sedangkan bila pihak yang dipotong atau dipungut merupakan Wajib Pajak Luar Negeri yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, permohonan pengembalian dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
Permohonan pengembalian diajukan atas suatu bukti pembayaran, bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan format sesuai peraturan beserta lampiran terkait dan ditandatangani oleh Wajib Pajak terkait ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar.

Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak melalui KPP terkait melakukan peneltian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

CONTROLLED FOREIGN COMPANY (CFC)

Controlled Foreign Corporation adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.

CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan caramenangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.

Untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa :

“Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.”
Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 256/PMK.03/2008 yang mengatur saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. 

Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak tersebut adalah ditentukan sebagai berikut:
  1. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
  2. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Sedangkan besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak Dalam Negeri adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, kecuali dividen tersebut telah dibagikan oleh perusahaan luar negeri sebelum batas waktu yang ditentukan dalam peraturan dan atas penghasilan tersebut wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak di Surat Pemberitahuan Tahunan PPh-nya untuk tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.

Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan ini menerangkan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya kredit pajak tersebut adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang PPh.

raden agus suparman : bagan skema contoh kasus CFC
klik gambar untuk memperbesar



SPECIAL PURPOSE COMPANY

Special Purpose Company adalah adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara. 

Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran (conduit) dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan cara mendirikan perusahaan di salah satu Negara Mitra P3B (treaty shopping). 

Tujuan pembentukan SPC tersebut tidak selalu untuk mendapatkan harga saham atau aktiva di bawah harga pasar, yang paling sering adalah sebagai perusahaan “bentukan” untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan dalam P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra.

Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:

“Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.”
Peraturan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 140/PMK/2010 yang menjelaskan bahwa pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri. 

Walaupn dilakukan oleh SPC tetapi sebenarnya yang melakukan pembelian dimaksud Wajib Pajak Dalam Negeri sepanjang Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company); dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.

Sedangkan saham yang dimaksud adalah:
  1. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
  2. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.


Penjualan atau pengalihan saham SPC

Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:
“Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindung pajak (tax haven country) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.”
Peraturan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 258/PMK.03/2008 yang menjelaskan bahwa atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara tersebut dikenakan PPh final sebesar 20% dari penghasilan netto yaitu 25% dari harga jual. 

Apabila saham tersebut dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, maka pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan harus mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual.

MUTUAL AGREEMENT PROCEDURES (MAP)

Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B. 

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Competent Authority atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara Mitra P3B antara lain berasal dari penyesuaian akibat koreksiTransfer Pricing, permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent establishment), karakterisasi atas suatu penghasilan, tindakan lain yang tidak sesuai dengan peraturan dalam P3B.


MAP dilaksanakan dalam hal terdapat : 

  1. permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia; 
  2. permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku; 
  3. permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau 
  4. hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak. 
Jangka waktu pengajuan permohonan MAP diatur berdasarkan P3B yang berlaku dengan Negara Mitra.

Permintaan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia

Permintaan untuk melaksanakan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dilakukan antara lain dalam hal: 
  1. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai Hubungan Istimewa; 
  2. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B; 
  3. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau 
  4. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dari salah satu negara tersebut. 
Permohonan pengajuan MAP sekurang-kurangnya memuat: 
  1. nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan; 
  2. tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri; 
  3. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan; 
  4. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan 
  5. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan. 
DJP dapat menolak permohonan Wajib Pajak apabila: 
  1. permintaan disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku dengan Negara Mitra; 
  2. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan dimaksud; atau 
  3. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud; 

ADVANCED PRICING AGREEMENT (APA)

Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/ atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. 

Kriteria-kriteria tersebut diantaranya penentuan metode Transfer Pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions). 

Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahanTransfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. 

Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa: 
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.” 
Keuntungan dari Advance Pricing Agreement (APA) selain untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu lagi melakukan koreksi dalam pemeriksaan atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. 

Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal (prelodgement) menggunakan formulir APA-1 dengan melampirkan persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku. 

Tahapan pembahasan APA:

Pembicaraan awal (prelodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; 
  1. penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal;
  2. pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;
  3. penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
  4. pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.

Pembahasan APA

Topik yang dibahas dalam APA antara lain:
  1. ruang lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh Kesepakatan Harga Transfer;
  2. Analisis Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data pembanding;
  3. penentuan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  4. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode Penentuan Harga Transfer; dan
  5. perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan negara/jurisdiksi lain.
Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga Transfer dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengadakan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) dengan otoritas pajak dari negara/jurisdiksi mitra P3B.

Tindak lanjut pelaksanaan hasil APA

Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud belum pernah dilakukan pemeriksaan; belum pernah diajukan keberatan atau banding oleh Wajib Pajak; dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.

Dalam pelaksanaan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report) yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Yang didalamnya memuat:
  1. kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dalam transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
  2. penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
  3. penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical assumptions) penerapan metode Penentuan Harga Transfer.

RANGKUMAN TAX TREATY

Resident Tie Breaker

Resident Tie Breaker adalah prosedur untuk menentukan seseorang “penduduk” negara mana. Penduduk atau resident adalah kelaziman dalam perpajakan Internasional karena perpajakan pada umumnya tidak mengenal kewarganegaraan sebagai penentu. Siapa harus tunduk pada aturan siapa mengacu pada kependudukan (sering juga disebut domisili). 

Jadi Resident Tie Breaker berfungsi sebagai penentu bagi permasalahan dual resident

Resident Tie Breaker dilakukan secara berurutan dan bertahap sesuai dengan tax treaty yang sudah ditanda-tangani. Ada dua jenis Resident Tie Breaker, yaitu satu untuk individu atau sering disebut Wajib Pajak Orang Pribadi, kedua untuk persons other than individual atau kita sebut jasa wajib pajak badan.

Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri: Tempat tinggal (Permanent Home), pusat kepentingan (Centre of Vital Interests), kebiasaan berdiam (Habitual Abode), status kewarganegaraan (Nationality), Citizenship, dan prosedur kesepakatan (Mutual Agreement Procedures). Kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada. 

Ada 39 tax treaty yang menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, dan terakhir Mutual Agreement Procedures

Sebanyak 22 tax treaty menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, Nationality, dan terakhir Mutual Agreement Procedures.

Istilah Citizenship hanya digunakan dalam satu tax treaty yang kedudukannya sama seperti Nationality. Menurut saya, urutan yang kedua sama saja dengan ketiga. 

Sedangkan Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Badan terdiri: MAP (Mutual Agreement Procedures); POCM (Place of Control and Management); POEM (Place of Effective Management); POI (Place of Incorporation); POO (Place of where it is organised).

Ada 29 tax treaty yang hanya menggunakan Mutual Agreement Procedures untuk menentukan dual resident, 26 tax treaty hanya menggunakan Place of Effective Management, dan 3 tax treaty hanya menggunakan Place of Incorporation.

Permanent Establishment

Permanent Establishment diterjemahkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Undang-Undang Pajak Penghasilan mendefinisikan BUT sebagai “kendaraan” Wajib Pajak Luar Negeri untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Kalimat lengkapnya seperti ini, 
“Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia”.

Tetapi dalam konteks tax treatyPermanent Establishment adalah batas kewenangan Indonesia mengenakan pajak. 

Tax treaty biasanya mengatur hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty.

Jika terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty, maka Indonesia berhak mengenakan pajak sesuai tax treaty. [pada kebanyakan, Indonesia sebagai negara sumbber].

Pada dasarnya, Permanent Establishment dikelompokkan ke dalam empat tipe :

Satu: Tipe Aset.

Permanent Establishment Tipe Aset memiliki ciri fixed place yang dapat dirinci menjadi tiga pengujian [test], yaitu : 

  1. place of business, yaitu tempat atau prasarana seperti tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa. 
  2. fixed, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap.
  3. doing business through that fixed place, yaitu kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Dan syarat fixed place inilah yang banyak dimanfaatkan oleh perusahaan digital. Fixed place menjadi kelemahan tax treaty sejak industri internet berkembang.

Dua: Tipe Aktivitas
Permanent Establishment tipe aktivitas ada dua:

  1. proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi (pengawasan) untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja. 
  2. kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan. Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b. Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas. Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test
Berbeda dengan proyek fisik diatas, time test jasa tidak perlu terus-menerus. Bisa putus-putus yang penting dalam 12 bulan ada 6 bulan. Pemberian jasa ini bisa dilakukan oleh pegawai perusahaan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut.

NO
NEGARA
TES WAKTU
Konstruksi
Instalasi
Perakitan
Kegiatan Pengawasan
Jasa Lainnya
1.
ALGERIA
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan/12bulan
2.
AUSTRALIA
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari/12bulan
3.
AUSTRIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12bulan
4.
BANGLADESH
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
91 hari/12 bulan
5.
BELGIUM
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/ 12bulan
6.
BRUNEI DARUSSALAM
183 hari
3 bulan
3 bulan
183 hari
3 bulanl12bulan
7.
BULGARIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
120 haril 12bulan
8.
CANADA
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari
120 haril 12 bulan
9.
CZECH
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
10.
CHINA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan/ 12bulan
11.
DENMARK
6 bulan
3 bulan
3 bulan
6 bulan
3 bulanl 12 bulan
12.
EGYPT
6 bulan
4 bulan
4 bulan
6 bulan
3 bulan/1 2bulan
13.
FINLAND
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulanl1 2bulan
14.
FRANCE
6 bulan
n/a
6 bulan
183 hari/12 bulan
183 haril 12 bulan
15.
GERMANY
6 bulan
6 bulan
Tidak Ada
Tidak Ada
7,5 % 1
16.
HUNGARY
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
4 bulan/12bulan
17.
INDIA
183 hari
183 han
183 hari
183 hari
91 hari/ 12bulan
18.
IRAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12bulan
19.
ITALY
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12bulan
20.
JAPAN
6 bulan
6 bulan
Tidak Ada
6 bulan
6 bulan/tahunpajak2
21.
JORDAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
1 bulan/12bulan
22.
KOREA, REPUBLIC OF
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
23.
KOREA. DEMOCRATIC PEOPLE'S REPUBLIC OF
12 bulan
12 bulan
12 bulan
12 bulan
6 bulan/12 bulan
24.
KUWAIT
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan/12 bulan
25.
LUXEMBOURG
5 bulan
5 bulan
5 bulan
5 bulan
10% 3
26.
MALAYSIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
27.
MEXICO
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
91 hari/12 bulan
26.
MONGOLIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
29.
NETHERLANDS
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
30.
NEW ZEALAND
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
31.
NORWAY
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
32.
PAKISTAN
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
15% 4
33.
PHILIPPINES, TH E
6 bulan
3 bulan
3 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
34.
POLAND
183 hari
183 hari
183 hari
183 hart
120 hari/12 bulan
35.
PORTUGAL
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
36.
QATAR
6 bulan
6 Bulan
6 Bulan
6 Bulan
6 bulan/12 bulan
37.
ROMANIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
4 bulan/12 bulan
38.
RUSSIA
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
Tidak ada 5
39.
SAUDI ARABIA "
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
40.
SEYCHELLES
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
41.
SINGAPORE
183 hari
183 hari
183 hari
6 bulan
90 hari/12 bulan
42.
SLOVAK
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
91 hari/12 bulan
43.
SOUTH AFRICA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
120 hari/12 bulan
44.
SPAIN
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
3 bulan/12 bulan
45.
SRI LANKA
90 hari
90 hari
90 narl
90 hari
90 hari/12 bulan
46.
SUDAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
47.
SWEDEN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
46.
SWITZERLAND
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
5% 6
49.
SYRIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
50.
TAIWAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
120 hari/12 bulan
51.
TH AILAND
6 bulan
8 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari
52.
TUNISIA
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan/12 bulan
53.
TURKEY
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
54.
U.A.E
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
55.
UKRAINE
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
4 bulan/12 bulan
56.
UNITED KINGDOM
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
91 hari/12 bulan
57.
UNITED STATES
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari
120 haril12 bulan
58.
UZBEKISTAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
59.
VENEZUELA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
10%7
60.
VIETNAM
6 bulan
6 bulan
6 bula n
6 bulan
3 bulan/12 bulan

  • jasa lainnya dalam P3B RI-Jerman dikenakan pajak 7,5% dari fee untuk jasa-jasa teknik (Pasal 12 P3B RI-Jerman)
  • meliputi jasa konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 5 P3B RI-Jepang
  • jasa lainnya dalam P3B RI-Pakistan dikenakan pajak 10% dari fee untuk jasa-jasa teknik (Pasal 12 P3B RI-Luxembourg)
  • jasa lainnya dalam P3B RI-Pakistan dikenakan pajak 15% dari fee untuk jasa-jasa teknik, meliputi jasa manajerial, jasa teknis maupun jasa konsultasi (Pasal 13 P3B RI-Pakistan)
  • untuk menentukan timbulnya BUT tidak diperlukan time test
  • pajak atas jasa-jasa konsultasi dan lainnya dalam P3B RI-Swiss dikenakan pajak 5% dari jumlah pembayaran bruto (Pasal 13 P3B RI-Swiss)
  • dalam hal fee atas bantuan teknis meliputi pemberian segala macam jasa termasuk jasa konsultasi, jasa manajerial dan jasa teknis yang berkaitan dengan pengetahuan teknik, pengalaman, ketrampilan, metode atau proses,namun tidak termasuk pembayaran atas jasa-jasa profesional sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 15 P3B RI-Venezuela dikenakan pajak 10% dari jumlah bruto pembayaran (Pasal 12 P3B RI-Venezuela)

Ada juga tax treaty yang mengatur time test untuk Exploration. Negara yang menyebutkan time test untuk Pengeboran Lepas Pantai (Drilling Rig or Working Ship) adalah Amerika, Australia, Kroasia (120 hari); Hong Kong (183 hari); Sri Lanka (90 hari); dan Cina (6 bulan).



Tiga: Tipe agen
Tidak semua agen merupakan Permanent Establishment. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Nah, agen yang manjadi Permanent Establishment adalah agen tidak bebas. Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai Permanent Establishment jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas. 

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan menjadi Permanent Establishment dengan syarat :

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara. 
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Semua tax treaty mengatur kewenangan untuk menutup kontrak atas nama perusahaan yang diwakilinya. 55 tax treaty mengatur masalah mengelola dan melakukan pengiriman barang dagangan milik perusahaan. Belanda, Inggris, Jepang, Malaysia, Polandia, Suriname hanya menyebutkan ketentuan mengelola barang (tidak menyebutkan melakukan pengiriman barang). Uni Emirat Arab menyebutkan ketentuan mengelola dan menjual barang (tanpa menyebutkan melakukan pengiriman barang).


Empat: Tipe asuransi 
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan 
Permanent Establishment asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi. 

UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai 
Permanent Establishment apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7). Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Permanent Establishment adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Ada 44 tax treaty Indonesia dengan negara mitra yang mengatur perusahaan asuransi secara khusus.

Immovable Property

Seluruh tax treaty yang disepakati Indonesia memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana immovable property tersebut berada (where the immovable property situated). Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable property berada, dikurangi 50%.

Shipping and Air Transport (Taxing rights)

Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.

Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.

Selain laba atas partisipasi di pool, joint business; agency internasional; 14 negara menyebutkan sumber penghasilan lain yang termasuk dalam pasal ini yaitu laba atas penggunaan, sewa dan perawatan container; serta rental on bare boat basis yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, India, Kroasia, Maroko, Portugal, Arab Saudi, Slovakia, Syria, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Uzbekistan.

Sedangkan perjanjian yang mengatur pengecualian atas pengasilan tertentu adalah Australia, Denmark, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Norwegia, Romania, Swedia, Syria, dan Venezuela.

http://pajaktaxes.blogspot.co.id/p/pajak-internasional.html
NEXT PAJAK INTERNASIONAL

Akuntansi Internasional Tugas 2 : "Perpajakan Internasional"

1.1        Pajak Internasional
Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.
“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).”
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas yaitu:
1.      Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negri, dan
2.      Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri(domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country)
Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.

Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netraliats yang harus dipenuhi dalam kebijakan pemajakan internasional:
1.      Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2.      Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3.      National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
1.2        Pemajakan Transaksi Lintas Negara
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
1.3        Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation
Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hokum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject).
1.4        Hukum Pajak internasional
Ottmar buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit adalah (Agus Setiawan, 2006):
“Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional),”
Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:
“Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional dalam arti luas termasuk sebagai berikut:
a.      Hukum Pajak Internasional dan Nasional
b.  Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-lain perjanjian internasional;
c.       Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
                           i.            Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
                                    ii.            Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan;
                                  iii.            Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht.
Menurut Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.”
Menurut PJA Adriani, “Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masing-masing negara.”
Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-undang nasional mengenai :
a.      Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b.      Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;
c.       Traktat-traktat.
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut :
1.      Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National External Tax Law);
2.      Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
3.      Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law).
National External Tax Law
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
Foreign Tax Law
Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
Internasional Tax Law
Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di Dunia,maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai obyeknya pangenaan pajak dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
              i.            Hukum Pajak Internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik ruang lingkup, kewenangan, dan kedudukannya;
            ii.            Hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan negara domisili;
          iii.            Hukum Pajak Nasional adalah merupakan bagian dari Hukum Pajak Internasional yang digunakan;
           iv.            Hukum Pajak Internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di berbagai negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada Hukum Pajak Nasional;
             v.            Hukum  Pajak Internasional dalalam arti sempit adalah Hukum Pajak Internasional yang mengatur kedua negara yang saling berkepentingan, sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah Hukum Pajak Internasional yang berlaku bagi seluruh negara.
1.5        Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional
Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara lain :
 A.     Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a.  Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”;
b.      Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c.  Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak;
d.  Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan Nasional  (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e.  Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f.       Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;
g.    Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
B.     Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
a.      Perjanjian bilateral;
b.      Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
c.       Perjanjian multirateral
Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.
Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewneng ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.
1.6        Prinsip Non-Diskriminasi
Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang perpajakan bagi warganegara dari suatu negara treaty partner yang melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk dari  negara yang disebutkan pertama di atas.
1.7        Pengertian Tax Avoidance, Tax Planning, dan Tax Evasion
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:
1.      Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
2.       Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atauunacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan “sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,  The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament).
 Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.”
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan  bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan?
Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing,(ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC). Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:
1.      Substantive tax planning, yang terdiri atas:
a.      Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
b.      Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
c.       Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
2.      Formal tax planning
Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
1.8        Ketentuan tentang Anti Avoidance
Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:
1.      Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
2.      General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi  bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning olehAustralian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:
1.      Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
2.      Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.
3.      Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
4.      Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan datang.
5.       Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
6.      Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
 Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga  berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan  anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.
1.9        Pengertian Pajak Ganda Internasional
Knechtle (1979) membedakan pengertian pajak berganda dalam dua pengertian, yaitu pajak ganda dalam arti luas (wider sense) dan pajak ganda dalam arti sempit. (narrower sense). Dalam pengertian luas, pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiskal (subjek dan/atau objek pajak). Dalam arti sempit, pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu admisitrasi pajak yang sama.
Pengertian tersebut mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah dan bagian administrasinya yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat. Pajak berganda tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal (singular power) atau oleh berbagai (lapisan) administrasi (plural power). Pemajakan ganda oleh admisitrator tunggal, misalnya dapat terjadi pada pemajakan terhadap bangungan atas nilai jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak Penghasilan atas sewa atau keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut pajak berganda ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat terjadi secara vertical (pemerintah pusat dan daerah), horizontal (antarpemerintah daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengna provinsi A, atau provinsi B)
Sementara itu, hubungan ekonomi internasional yang semula hanya diwarnai dengan pertukaran barang, migrasi sumber daya manusia, transaksi jasa lintas perbatasan, kini telah semakin luas ruang geraknya dengan ditandai semakin meningkatnya arus modal dan pembiayaan antar negara serta semakin berperannya sektor informasi, dan semua itu berjalan tidak sendiri-sendiri, melainkan saling kait mengait. Lalu lintas barang dan pertukaran sumber daya internasional, jasa dan modal serta informasi mempunyai sifat ketergantungan satu dengan yang lain.
1.10    Penyebab Pajak Berganda Internasional
Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI) muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere).
Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak.
Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa), dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle;Pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen).
PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan.
1.11    Azas-azas Perpajakan dan Timbulnya Pajak Berganda Internasional
Indonesia, sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang atau objek yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Yurisdiksi pemajakan (tax jurisdiction) sebagai kedaulatan dalam bidang perpajakan merupakan konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu negara (Knechtle, 1979). Sehubungan dengan yurisdiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut empat teori jusitifikasi legal hak pemajakan suatu negara:
a.      realistis atau empiris,
b.      etis atau retributive,
c.       kontraktual, dan
d.      soveranitas.
Teori soveranitas menegaskan bahwa pemajakan adalah merupakan suatu bentuk pelaksanaan dari yurisdiksi dan yurisdiksi merupakan atribut (kelengkapan) dari soveranitas. Sumber dari hak pemajakan (right to tax) suatu negara berasal dari soveranitas (kedaulatan) negara tersebut. Sebagai kebutuhan histories (akan adanya suatu negara), hak dan kewajiban utama suatu negara adalah untuk mengamankan dan melestarikan keberadaannya. Untuk keperluan itu, negara mempunyai hak untuk meminta sesuatu (kontribusi pajak) dari siapa saja yang berada di bawah kewenanagan hukumnya. Berbeda dengan teori retributive yang menekankan kepada manfaat ekonomis (economic allegiance) yang telah dinikmati seseorang sebagai justifikasi pemajakan, dengan mendasarkan pada asumsi bahwa keberadaan negara adalah masalah esensial politis, teori soveranitas cenderung memberikan justifikasi pemajakan berdasarkan keterkaitan politis (political allegiance) seseorang terhadap suatu negara.
Dari neksus perpajakan (keterkaitannya dengan pemajakan asas penghasilan), kebanyakan orang mengkristalkan dasar pengenaan pajak pada tiga prinsip:
1.      kewarganegaraan,
2.      domisili (dan residensi), serta
3.      sumber penghasilan (termasuk kekayaan).
Sebagaimana sering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya berdasarkan dua kaitan (pertalian) fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif (personal), dan (b) objektif. Pertalian subjektif memperhatikan status wajib pajak (tempat tinggal/domisili, keberadaan atau niat dalam kasus wajib pajak orang pribadi; tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan). Pertalian objektif mendasarkan kepada letak geografis sumber penghasilan. Surrey (1987) dan Tilinghast (1984) serta the American Law Institute (1987) menyatakan bahwa yurisdiksi yang mendasarkan pada pertalian subjektif disebut yurisdiksi domisili atau azas domisili (domicilary jurisdiction); sedangkan yurisdiksi yang merujuk pada sumber penghasilan disebut yurisdiksi/azas sumber (source jurisdiction).
a.      Azas Domisili
Pasal 2(3) UU PPh menegaskan ketentuan tentang yurisdiksi domisili terhadap orang pribadi dan badan. Dalam rumusan Pasal 2(1), nampak jelas bahwa yang tersurat sebagai subjek pajak adalah termasuk warisan yang belum terbagi dan bentuk usaha tetap (dalam model perjanjian perpajkan disebut .permanent establishment.). Namun karena warisan yang belum terbagi pada hakikatnya adalah menggantikan (beberapa) subjek pajak orang pribadi ahli waris (atau subjek yang meninggalkan warisan( dan bentuk usaha tetap (BUT) sebagai kriteria ambang batas pemajakan penghasilan usaha (dan kegiatan) dari perusahaan luar negeri yang dapat merujuk kepada orang pribadi dan badan, maka pada dasarnya subjek pajak yang sebenarnya adalah tetap orang pribadi dan badan.
1.      Orang Pribadi
Indonesia mempunyai yurisdiksi domisili atas orang pribadi dengan status wajib pajak dalam negeri (istilah .dalam negeri. adalah setara dengan .residen/penduduk yang dipakai oleh kebanyakan negara lain). Pasal 2 (3) (a) UU PPh menyebut tiga criteria penentu apakah seseorang merupakan wajib pajak dalam negeri (WPDN) yaitu:
a.      tempat tinggal (domisili,
b.      keberadaan/kehadiran (presensi), dan
c.       niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kriteria domisili untuk menentukan status WPDN merupakan tambahan oleh UU No. 10 tahun 194 terhadap tes keberadaan dan niat (dalam UU No 7 tahun 1983) dan sekaligus memperluas yuridiksi domisili pemajakan Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 2(6), apakah seseorang bertempat tinggal di Indonesia ditentuka menurut keadaan yang sebenarnya. Keadaan yang sebenarnya tersebut, misalnya, dapat berupa petunjuk formal (kependudukan) atau substansial (keberadaan keluarga, tempat tinggal, alamat tetap, atau kepentingan ekonomis dan sosial). Dengan demikian orang yang tidak berada di Indonesia (selama lebih dari 183 hari) madih sapat dianggap bertempat tinggal di Indonesia apabila keadaan yang sebenarnya dapat menunjukkan ha tersebut dan oleh karenanya termasuk WPDN.
Apabila criteria domisili dapat bersifat subjektif formal, criteria keberadaan kehadiran merupakan criteria yang bersifat obejktif kuantitatif. Namun kedua criteria tersebut dibangun berdasar kterkaitan ekonomis (economic allegiance) seseorang terhadap negara pemungut pajak, sedangkan pemajakan berdasar kewarganegaraan sering diangggap di bangun berdasar keterkaitan politis (political allegiance).
2.      Badan
Pasal 2(3)(b) UU PPh menyebut dua kirteria penentu yurisdiksi domisili Indonesia atas badan yaitu: (a) tempat pendirian, dan (b) tempat kedudukan. Setiap badan, termasuk perseroan terbatas, yang didirikan di Indonesia merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van Raad (1986) suatu badan, pada umumnya dapat dianggap memperoleh status hukum (kewarganegaraan atau nasionalitas) di negara berdasarkan hokum siapa badan tersebut didirikan (.incorporated.). Setiap badan yang didirikan di Indonesia dianggap bernasonalitas Indonesia.
Dengan demikian, terhadap badan, Indonesia menganut pertalian (fiskal) nasionalitas. Akibatnya, semua badan yang didirikan di (berdasarkan hokum) Indonesia, tanpa memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya (di mana pun berada), merupakan WPDN Indonesia.
Namun dari segi praktik penerapan ketentuan perpajkan, seperti penaftaran, asesmen, penagihan dan sebagainya, apabila badan tersebut sama sekali tidak mempunyai perwakilan atau orang di Indonesia perlu dicari upaya yang efektif untuk pelaksanaan administrative dari ketentuan tersebut.
b.      Azas Sumber
Pasal 2(4) UU PPh menegaskan jurisdiksi sumber (.source jurisdiction.) yang berlaku di Indonesia. Selaras dengan norma yang diterima secara global (misalnya, Surrey (1987) dan Van Raad (1986)) yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan pada dua unsure: (a) menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan (b) menerima atau memperoleh penghasilan yang bersimber di negara tersebut.
UU PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan ditentukan dengan keberadaan BUT. Apabila aktivitas ekonomi tersebut sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana diatur dalam pasal 2(5), Indonesia dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan tersebut seperti pemajakan dari penghasilan atas usaha yang dijalankan oleh orang Indonseia. Dalam bahasa UU PPh, akitivitas ekonomi ini dapat berupa; (a) menjalankan usaha (bisnis), atau (b) melakukan kegiatan (profesi atau pekerjaan bebas). Apabila dalam P3B Model OECD sebelum tahun 2000 terdapat dua konsep, yaitu permanent establishment (untuk usaha) dan pangkalan tetap (untuk profesi), maka dalam rumusan UU PPh kedua konsep tersebut diintegrasikan dalam satu konsep BUT (yang berlaku baik untuk usaha
maupun pekerjaan bebas profesi).
Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada suatu asumsi bahwa negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan milik bukan WPDN untuk memperoleh penghasilan dari negara tersebut. Implikasi dari yurisdiksi sumber ialah bahwa Indonesia secara sah dapat memungut pajak dari orang pribadi atau badan bukan WPDN yang menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di Indonesia.
1.12    Pengertian Dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu :
a.      Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
b.      Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1.      Internal (domestic)
2.      Internasional
Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal dan diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal). Definisi lain Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara dua negara bilateral yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk oleh salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Constacting State). Atau perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah klausul yang cukup banyak, pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu treaty, seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang secara spesifik berlaku untuk negara tertentu.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article atau artikel) yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya berkaitan dengan kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari. Disamping tujuan utama seperti disebutkan diatas P3B juga mempunyai tujuan khusus lainnya yaitu :
a.      Menghindari pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;
Dengan P3B maka penganaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat (negara sumber dan negara domisili). Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.
b.      Meningkatkan investasi modal dari luar negeri;
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dapat dipastikan pendudukan atau warga negara asing akan mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya, karena hasil dari investasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c.       Peningkatan sumber daya manusia;
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dapat meningkatkan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan ke luar negeri, dampaknya akan meningkatkan kemampuan SDM negara pengirim peserta pelatihan dan pendidikan. Sebaliknya jika penghasilan mahasiswa dan karyawan yang mengikuti pelatihan dikenakan pajak maka akan membebani mereka sehingga mereka tidak berangkat keluar negeri ini akan berdampak kurang baik terhadap pengembangan SDM.
d.      Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
Dengan membangun jaringan komunikasi yang baik diantara kedua negara, maka informasi tentang penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya di kedua negara tersebut akan dapat terdeteksi (untuk mengintensifkan penerimaan pajak). Negara yang terkait dengan Tax Treaty dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya saja dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber, informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali pada akhir tahun pajak.
e.       Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.
P3B juga mengaatur adanya pemajakan yang sama dan setara antara kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadaka tax treaty terikat dengan ketentuan dalam perjanjiannya sehingga tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
1.13    Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
1.      Dampak Pajak Berganda
Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan suberdaya (kemampuan ekonomis) yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua negara) memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan risiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan berganda telah ikut memperbesar risiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi dan menghambat mobilitas global sumberdaya ekonomis. Oleh karena itu, tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas PBI.
 2.      Beberapa Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, seperti (1) pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit), dan (3) metode lainnya. Kedua metode pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan PBI yang diikuti oleh kebanyakan negara. Ketiga metode tersebut akan dibahas dibawah ini.
 Pembebasan/pengecualian
Metode pembebasan (exemption)/pengecualian (exclusion) berupaya untuk sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan sekunder (domisili) untuk dengan rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain (negara sumber). Metode eksemsi meliputi pembebasan (1) subjek, (2) objek, dan (3) pajak.
Pembebasan subjek (subject exemption) umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. para duta besar, anggota korps diplomatic dan konsuler, sesuai dengan hukum internasional mendapat privelege pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja (sending state). Ketentuan pemberian privelege (hak istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir) semua negara secara universal dan dikenal dengan istilah .asas reprositas. (tet) Pembebasan objek (object, income exemption), yang lebih dikenal dengan full exemption atau exemption without progression, diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara tersebut. Exemption without progression (eksemsi tanpa progresi) maksudnya adalah bahwa penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul dibebaskan dari pengenaan pajak dengan mengeluarkannya (mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga tidak akan masuk dalam unsur penghitungan progresi (progresivitas) tarif pengenaan pajak negara domisili.
Pilihan ketiga dari metode pembebasan ini adalah pembebasan pajak (tax exemption) atau dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, pada prinsipnya penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila negara residen memperlakukan tarif sepadan (prporsional atau flat), maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif atau menguntungkan wajib pajak apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut dapat merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan utama antara metode pembebasan penghasilan (object exemption) dengan pembebasan pajak (tax exemption).
Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti Indonesia.
 Kredit Pajak
Metode kredit pajak terdiri dari beberapa metode, yaitu (1) Metode Kredit Penuh (full tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas (ordinary atau normal credit mothode) dan (3) Kredit Fiktif (mathcing atau sparing credt methode). Dalam tataran lain, sehubungan dengan investasi pada anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara kredit langsung dan kredit tidak langsung.
Metode kredit penuh (full tax credit methode) mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan atas penghasilan tersebut.
Metode kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit) memberikan keringanan pajak berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak nasional yang dialokasikan pada penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1) pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batasan teoritis), dan (2) pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri (batasan faktual) atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global.
Dalam metode kredit biasa, apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa negara, maka kredit pajak dapat dihitung secara bergabung (oveall) atau tiap negara (per country limitation). Pemberian kredit bergabung lebih menguntungkan wajib pajak dengan diperbolehkannya kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan negatif dan (2) tarif tinggi dengan tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang dapat dikreditkan). Disamping itu, atas penghasilan dari anak perusahaan luar negeri yang berupa dividen, selain kredit atas pajak dari dividen (kredit langsung; direct tax credit) dapat pula diberikan kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen tersebut (indirect tax credit).
 Metode Lainnya
Sehubungan dengan metode pemberian keringanan pajak berganda internasional, selain metode eksemsi dan kredit, dalam buku International Juridicial Double Taxation on income, Manual Pires menyebut beberapa metode sebagai berikut:
1.      Pembagian pajak (tax sharing)antara negara domisili dan sumber,
2.      Pembagian hak pemajakan (division of taxing power) dengan penentuan tarif pajak maksimum atas penghasilan yang diperoleh WPLN yang dapat dipungut oleh negara sumber,
3.      Keringanan tarif (reduction of the rate) terhadap penghasilanluar negeri yang harus diberikan oleh negara dimisili,
4.      Pengurangan pajak (rudction of the tax) dengan suatu jumlah tertentu (persentase) dari penghasilan luar negeri, dan
5.      Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum atau forfait taxation). Sementara itu, beberapa metode keringanan PBI yang dihubungkan dengan penghasilan termasuk;
·         Klarifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai dengan kategori tertentu untuk menentukan pemajakan antara negara sumber dan domisili,
·         Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak (deduction method) dan
·         Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah tertentu (atau seluruhnya).
1.14    Praktik Penghindaran Pajak Berganda Internasional.
Untuk menghndari atau mengurangi dampak PBI, di dunia internasional dikenal tiga cara yang sering dilaksanakan, yaitu (1) mengikuti konvensi/traktat internasional), (2) mengadopsi kesepakatan internasional dalam undang-undang pajak domestik, dan (3) antar negara mengadakan perjanjian perpajakan (tax treaty).
 Konvensi
Hasil-hasil konvensi yang pernah ada dan dilaksanakan oleh Indoensia antara lain :
a.      Bidang pajak Penghasilan, meliputi :
1.      Azas reprositas (tet) atau azas timbal balik, yakni apabila negara lain tidak mengenakan pajak penghasilan untuk pejabat perwakilan negara Indonesia (Duta Besar atau konsulat), maka pejabat pewakilan negara tersebut di Indonesia pun tidak dikenakan pajak penghasilan.
2.      Kegiatan usaha suatu BUT apabila melakukan pembelian barang dagangan yang dikirimkan ke induk perusahannya di luar negeri, dikecualikan sebagai objek pajak.
3.      Penghasilan perusahaan dan penerbangan jalur internasional yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dikecualikan sebagai objek pajak.
b.      Bidang Pajak Pertambah pabean Nilai
1.      Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud yang berasal dari luar daerah pabean dikenakan PPN apabila dipakai dalam daerah Pabean.
2.      Penyerahan jasa kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dikenakan PPN apabila dimanfaatklan di dalam daerah pabean.
 Mengadopsi Kesepakatan-kesepakatan Internasional Ke Dalam Undang-Undang Pajak Domestik.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat (sovereign country) ikut serta menghindari/mengurangi terjadinya PBI dengan mengadopsi kesepakatan-kesepakatan internasional dalam undang-undang pajak nasional. Pengadopsian kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut dimaksudkan pula untuk memberikan kepastian hukum. Rincian pasal-pasal yang mencerminkan adanya adopsi kesepakan internasional dalam undang-undang pajak domestik sebagai berikut:
a.      Bidang Pajak Penghasilan (Undang-undang Pajak Penghasilan)
1)      Pasal 2 ayat (4) : Subjek Pajak luar Negeri
2)      Pasal 2 ayat (5) : Bentuk Usaha Tetap (BUT)
3)      Pasal 3 : Pengecualian Subjek Pajak
4)      Pasal 5 : Objek Pajak BUT
5)      Pasal 21 ayat (2) : Pengecualian Sebagai Pemotong Pajak
6)      Pasal 24 : Pengkreditan Terbatas (Ordinary Tax Credit)
7)      Pasal 26 ayat (1), (2) : Pemotongan Pajak Atas Penghasilan yang Diterima WPLN
8)      Pasal 32A : Pemerintah berwenang mengadakan perjanjian dengan negara lain.
b.      Bidang Pajak Pertambahan Nilai (Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai_
1)      Pasal 4 huruf e : Pemanfaatan barang kena pakak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
2)      Pasal 4 huruf g : Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
 Mengadakan Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty).
Antar negara mengadakan perpanjian perpajakan (tax treeaty) yang disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan maksud melindungi penduduk suatu negara supaya tidak menanggung beban pajak dari dua atau lebih otoritas pajak (dalam negeri dan luar negeri). Dalam hal telah ada perjanjian peerpajakan, maka pemungutan pajak berdasarkan perjanjian perpajakan (kedudukan perpjanjian perpajakan lebih tinggi dari undang-undang pajak nasional suatu negara). Indonesia sampai saat ini telah mengadakan perjanjian perpajakan dengan lebih dari 70 negara, sedangkan yang masih berlaku sebanyak 57 negara sahabat.
1.15    Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional, baik yuridis maupun ekonomis.
Secara ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat beban usaha, investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat menghambat mobilitas sumberdaya dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam bidang investasi, perdagangan, produksi dan distribusi, sains dan teknnologi dimana terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik regional maupun global, dalam sektor perpajakan untuk mengindari beban ekonomis dari PBI tersebut juga terdapat jaringan kerja sama antarnegara yang dilakukan dengan menutup perjanjian penghindaran pajak berganda (.tax treaty; P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B merupakan perjanjian bilateral (namun dalam kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup oleh dua negara dengan tujuan utama untuk menentukan solusi terhadap (PBI) yang disebabkan oleh implementasi hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua negara atas suatu objek (subjek) yang sama.
Sampai saat ini Indonesia telah menutup P3B dengan lebih dari 70 negara mitra runding. Karena Indonesia tidak lagi mengenakan pajak kekayaan (wealth tax), semua P3B dimaksud berkaitan dengan pajak penghasilan saja. Sebagai salah satu instrumen yang tunduk pada hukum internasional, P3B yang telah efektif berlaku dapat memodifikasi suatu ketentuan domesti (UU PPh) yang berlaku atas suatu subjek atau objek.
 a.      Dasar Hukum P3B
P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang (lawmaking treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah) negaranegara (contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle; 1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B merupakan perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan konsekuensinya tunduk pada The Viena Convention on The Law of Treatiestanggal 23 Mei 1969 (.Konvensi Wina.). Walaupun terdapat communis opini doctorum(pendapat yang berterima umum), bahwa di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi, yaitu hukum antar negara (public internatonal law; Brotodiharjo; 1971), namun ketentuan di berbagai negara berbeda. Ada negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar menjadi bagian dari hukum nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah mengikatkan diri pada perjanjian internasional antara lain melalu pengesahan. Selanjutnya Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Khusus untuk P3B karena materinya tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan keputusan presiden yang salinannya disampaikan kepada DPR (sebagai lembaga legislative). Karena lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan pertukaran nota diplomatic antara Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai berlaku di kedua negara mitra runding tersebut.
b.      Model, Sifat, dan Tujuan Umum.
1.      Model Perjanjian
Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan mobilitas sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga upaya untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari pengembangan hubungan ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama dapat mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik (misalnya Pasal 24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling kurang memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud adalah (1) P3B dapat memberikan keringanan lebih baik dari ketentuan domestik (misalnya pengecualian), (2) memungkinkan harmonisasi saat pemajakan antara negara domisili dan sumber, dan (3) tujuan lainnya.
Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US Model.
Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan perpajakan antara negara anggota OECD, sebagai organisasi dari negara-negara industri maju dengan kekuatan ekonomi yang cukup untuk melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian merupakan dasar pijakan alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para anggota domisili berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan penerimaan.
Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap wilayah, pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip residensi akan dialami timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model OECD dikonsepkan dengan berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada negara domisili wajib pajak. Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan pajak sumber (withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif pajaknya untuk memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan kredit pajak negara residen (kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak domestiknya, keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk menyediakan kredit atau bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh negara sumber.
Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara negara maju dan berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD Model, yang kebanyakan meminta negara sumber untuk merelakan penerimaan pajaknya, kurang tepat untuk dipakai sebagai panduan P3B antara negara maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh karakteristik hubungan ekonomi negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh ketimpangan arus penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut (penghasilan dari negara berkembang lebih besar mengalir ke negara maju). Arus penghasilan satu arah tersebut menyebabkan pengorbanan yang kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian penerimaan pajak dari objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan pemajakan negara sumber (berkembang). Kurangnya penerimaan negara berkembang tersebut menyebabkan terbatasnya dana penyediaan fasilitas umum dan jasa publik lainnya. Selain menyebabkan kurang kondusifnya iklim investasi di negara berkembang, keterbatasan dana juga menyebabkan tidak mampunya negara berkembang yang umumnya sebgai negara pengutang untuk membayar utang luar negeri dan dalam negerinya.
2.      Sifat P3B
Istilah treaty dan convention sering dipakai secara bersamaan dan saling dipertukarkan. Sehubungan dengan kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa konvensi dapat dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya adalah .treaty.. Perjanjian (.agreement.) merupakan konvensi dengan tujuan kultural dan ekonomi serta dalam bentuk sederhana. Konvensi untuk mengeliminasi pajak berganda umumnya dirumuskan dalam bentuk .treaty.. Sebagai perjanjian bilateral, sesuai dengan hukum publik internasional, P3B bersifat mengikat kedua negara (contracting states). Selanjutanya, menurut Knechtle (1979), P3B yang ditutup suatu negara (Indonesia) juga mempunyai validitas internal domestik dan menjadi self executing. Sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, P3B mempunyai kemungkinan yang dapat bersifat restriktif atau ekspansif. Sebagai elemen dari hukum internasioanl, sesuai dengan prinsip negatif efek, P3B membatasi aplikasi dari ketentuan domestik (kewenangan mengenakan pajak). Sementara itu, perluasan hak pemajakan tidak bisa diperoleh hanya dengan menciptakan kewajiban pajak yang tidak tersurat (ada) dalam ketentuan domestik atau dengan mengeliminasi keringanan dalam ketentuan domestik (dengan ketentuan pada P3B). Sehubungan dengan kewajiban pajak, Van Raad (1986) menyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya dapat dikenakan berdasarkan ketentuan domestik (misalnya undang-undang perpajakan) dan bukan dengan P3B. begitu juga keringanan (pembebasan) pajak pada ketentuan domestik tetap ada dan tidak terhapus oleh rumusan pada P3B. Hanya untuk tujuan aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu ketentuan domestik tersebut dikesampingkan.
3.      Tujuan P3B
Selain untuk mengeliminasi PBI dalam rangka memperlancar mobilitas global sumberdaya, Pires (1989) menyebutkan beberapa tujuan lain dari P3B, antara lain:
1)      melindungi wajib pajak,
2)      mendorong atau menarik investasi (dengan berbagai keringanan pajak),
3)      memudahkan ekspansi perusahaan negara maju,
4)      membantu mengurangi dan menanggulangi penghindaran dan penyelundupan pajak, meningkatkan kerja sama aplikasi ketentuan domestik, perbaikan perutakaran informasi dan pengalaman perpajakan, peningkatan pengetahuan tentang kemampuan bayar wajib pajak, perbaikan interpretasi ketentuan pajak (misalnya sehubungan dengan praktik transfer pricing),
5)      harmonisasi kriteria pemajakan,
6)      mencegah diskriminasi,
7)       menumbuhsuburkan hubungan ekonomis dan sebagainya, dan meningkatkan pencegahan penyalahgunaan perjanjian dan kerja sama dalam penetapan dan penagihan serta aktivitas administrasi pajak lainnya.
4.      Struktur P3B
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US Model
Berikut adalah perbandingan struktur antara model OECD dan Model UN :
MODEL UN
MODEL OECD
B AB I  RUANG LINGKUP PERJANJIAN
Pasal 1 : orang dan badan yang
Tercakup dalam perjanjian
Pasal 1 : orang atau badan yang tercakup dalam perjanjian
Pasal 2: pajak-pajak yang tercakup dalam Persetujuan
Pasal 2 : pajak-pajak yang tercakup
BAB II  PENGERTIAN-PENGERTIAN
Pasal 3 : definisi-definisi umum
Pasal 3 : pengertian umum
Pasal 4 : penduduk
Pasal 4 : penduduk
Pasal 5 : bentuk usaha tetap
Pasal 5 : but
BAB III PAJAK ATAS PENGHASILAN
Pasal 6 : penghasilan dari harta takgerak
Pasal 6 : penghasilan dari harta tak gerak
Pasal 7 : laba usaha
Pasal 7 : laba usaha
Pasal 8 : perkapalan dan pengangkutan
udara
Pasal 8 : pelayaran, pengangkutan danau dan sungai, danpenerbangan jalur internasional
Pasal 9 : perusahaan-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa
Pasal 9 : perusahan yang mempunyai hubungan istimewa
Pasal 10: dividen
Pasal 10: dividen
Pasal 11: bunga
Pasal 11: bunga
Pasal 12: royalti
Pasal 12: royalti
Pasal 13 : keuntungan dari pemindahtanganan harta
Pasal 13 : keuntungan karena pemindahtanganan harta       
Pasal 14 : pekerjan bebas
Pasal 14 : pekerjaan bebas
Pasal 15 : pekerjaan dalam hubungan kerja
Pasal 15 : hubungan pekerjaan
Pasal 16 : imbalan direktur
Pasal 16 : pembayaran untuk direktur
Pasal 17 : para artis dan atlit
Pasal 17 : para artis dan olahragawan
Pasal 18 : pensiun
Pasal 18 : pensiun
Pasal 19 : pejabat pemerintah
Pasal 19 : jabatan pemerintahan
Pasal 20 : guru dan peneliti
Pasal 20 : mahasiswa dan pelajar
Pasal 21 : siswa dan pemagang
Pasal 21 : penghasilan lain-lain
BAB IV PAJAK ATAS KEKAYAAN
Pasal 22: penghasilan lainnya
Pasal 22 : kekayaan
BAB V METODA PENGHINDARAN
Pasal 23: metode penghindaran pajak
berganda
Pasal 23: metoda pengkreditan
BAB VI KETENTUAN KHUSUS
Pasal 24: non diskriminasi
Pasal 24 non diskriminasi
Pasal 25 tata cara persetujuan bersama
Pasal 25 prosedur kesepakatan bersama
Pasal 26 : pertukaran informasi
Pasal 26 : pertukaran informasi
Pasal 27 : pejabat diplomatik dan konsuler
Pasal 27 : para diplomat dan pejabat konsular
Pasal 28 : berlakunya persetujuan
Pasal 28 : perluasan wilayah berlakunya perjanjian
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29: berakhirnya persetujuan
Pasal 29 : berlakunya perjanjian
Pasal 30 : penghentian perjanjian
1.16    Aplikasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Dalam mendorong efisiensi ekonomi, pemajakan merupakan salah satu pertimbangan yang tidak begitu saja dengan mudah dapat diabaikan. Dalam sistem pajak, netralitas dimasksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan wajib pajak untuk melakukan kegiatan ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Netralitas pajak menghendaki agar ketentuan perpajakan tidak memberikan perlakuan yang berbeda atas satu kegiatan atau satu keputusan ekonomi dari kegiatan atau keputusan ekonomi lainnya. P3B merupakan salah satu kebijakan dalam mewujudkan netralitas pajak tersebut. Beberapa hal yang sering dialami dalam aplikasinya meliputi:
a.      Kedudukan P3B
Untuk mengalokasikan hak pemajakan atas kategori penghasilan tertentu kepada salah satu negara penandatangan, P3B mempunyai ketentuan tersendiri tentang sumber penghasilan.
Dalam bahasa P3B istilah asal (originating, atau arising) lebih sering dipakai ketimbang istilah sumber (source); Dapat terjadi bahwa kriteria penentu asal penghasilan P3B tidak sama dengan kriteria penentu Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan berdasarkan peraturan domestik. Dalam hal demikian, maka prioritas pemberlakuan diberikan kepada ketentuan dalam P3B.
b.      Penentuan penduduk (residensi)
Sebagaimana telah dikemukanpada bagian awal modul ini, bahwa penentuan domisili suatu badan usaha menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh berdasarkan kriteria (1) tempat pendirian residence dengan memberikan ketentuan (Pasal 4 ayat (3) model OECD) .Tiebreaker Rule. , yaitu dengan merujuk apakah kepada (1) tempat pendirian, (2) manajemen efektif, atau (3) kesepakatan bersama (mutual agreement procedures). Dengan merujuk kepada ketentuan solusi tersebut, maka untuk tujuan penerapan P3B tidak terdapat residensi ganda.
Sementara itu, untuk menentukan status penduduk wajib pajak orang pribadi apabila terjadi dual residences, ditetapkan berdasarkan:
a)      Tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
b)      Hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan pokok)
c)      Tempat kebiasaan berdiam
d)      Kewarganegaraan;
e)      Persetujuan bersama pejabat-pejabat yang berwenang.
c.       Time Test untuk Penentuan BUT
Keberadaan BUT menentukan hak pemajakan bagi negara sumber. Negara sumber mempunyai hak pemajakan penuh terhadap suatu atau kegiatan yang memenuhi kriteria BUT.
Pasal 2 ayat (5) UU PPh menentukan kriteria BUT meliputi keberadaan sarana fisik dan terpenuhinya batas waktu tertentu (time test) untuk suatu aktivitas atau kegiatan. Dalam hal ini, aktivitas di bidang konstruksi (membangun jalan, jembatan, bangunan dan sebagainya) kriterianya tidak menggunakan time test. Time test digunakan untuk menentukan keberadaan BUT pemberian jasa saja, yaitu pemberian jasa yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam 12 bulan. Namun, apabila antara Indonesia dengan negara domisili WPLN sudah ada P3B, maka penentuan BUT dari aktivitas pemberian jasa tersebut berdasarkan time-test yang disepakati dalam P3B.
d.      Surat Keterangan Domisili (SKD)
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 26 sehubungan dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, maka untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh 26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 sebagai berikut :
1)      Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar;
2)      Asli SKD menjadi dasar bagi pihak yang membayar untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.
3)      Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan fotokopi yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang aslinya.
Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada kantor pajak tempat wajib pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan surat keterangan domisili yang dibuat competent authority.
e.       Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedures)
Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah satu atau kedua Negara Pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara, ia dapat mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan di mana ia berkedudukan, atau apabila masalah yang timbul menyangkut perlakuan diskriminatif, maka permasalahan tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan di mana ia menjadi warganegara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu dua tahun sejak pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan P3B.
Apabila keberatan yang diajukan itu cukup beralasan untuk diselesaikan dan apabila atas masalah itu tidak dapat ditemukan suatu penyelesaian yang memuaskan, pejabat yang berwenang harus berusaha menyelesaikan masalah itu melalui prsetujuan bersama dengan pejabat yang berwenang dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, dengan tujuan untuk menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan melalui suatu persetujuan bersama harus berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan atau keraguraguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan P3B. Mereka dapat juga berkonsultasi bersama untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan tersebut. Pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara Pihak pada Persetujuan, melalui konsultasi, mengembangkan tatacara, kondisi, dan tehnik yang bersifat bilateral guna pencapaian prosedur persetujuan bersama.
f.        Pertukaran Informasi
Adakalanya untuk kelancaran pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri, khususnya untuk mencegah terjadinya penggelapan dan penyelundupan pajak, diperlukan informasi dari negara pihak lainnya. Untuk kelancaran pertukaran informasi (exchange of information) diatur dalam P3B sebagai berikut:
1.      Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan akan melakukan tukar menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan memberikan informasi itu hanya untuk maksud tertentu tetapi juga boleh mengungkapkan informasi itu dalam pengadilan umum atau dalam pembuatan keputusan-keputusan pengadilan.
2.      Negara pihak tidak dapat mewajibkan negara pihak lainnya untuk :
a)      Melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan dengan perundangundangan dan praktek administrasi yang berlaku di Negara itu atau di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan;
b)      Memberikan informasi yang tidak mungkin diberikan di bawah perundang-undangan atau dalam praktek administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan;
c)      Memberikan informasi yang mengungkapkan rahasia apapun di bidang perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau informasi lainnya yang pengungkapannya bertentangan dengan kebijaksanaan umum (ordre public).
Dalam P3B atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak menurut undang-undang Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan P3B.
Setiap informasi yang diterima oleh suatu negara Pihak pada Persetujuan harus dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu diperoleh berdasarkan perundang-undangan nasional negara tersebut. Bagaimanapun, informasi yang dianggap rahasia itu hanya dapat diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam P3B.

CONTOH KASUS
 Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestic (Negara P)
200.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
100.000.000
Penghasilan global
300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%)
75.000.000
Eksemsi pajak
100.000.000 – 75.000.000
(25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar
50.000.000
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestic (Negara P)
200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
(50.000.000)
Penghasilan global
150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
25% x 150.000,000
37.500.000
Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai konsekuansi dari system pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestic (Negara P)
250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
(150.000.000)
Penghasilan global
400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%)
100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri                  150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu     (50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi
100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25%
(25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar
75.000.000